Rabu, 30 Desember 2020

Sabtu, 26 Desember 2020

Minggu, 20 Desember 2020

Belajar

Aku tidak mau berhenti disitu.. berhenti belajar karena keadaan di masa lalu. Aku masih punya masa depan yang harus aku selamatkan. Dan, aku ingin terus belajar..


~

Sabtu, 12 Desember 2020

Kamis, 12 November 2020

Bagaimana Kamu


Waktu menunjukkan pukul 2 dini hari, sementara matamu enggan memejamkan diri. Pikiranmu terus saja berisik. Sudah berapa kali mencoba memejamkan mata? Sudah berapa kali mencoba menenangkan pikiran? Sudah berapa kali membalikkan badan mencari posisi agar kamu merasa nyaman dalam tidurmu? Huh.. sayangnya, semakin malam gemuruh itu semakin membuatmu gelisah.

Kamu tidak tau apa yang mengganggumu malam ini sehingga membuatmu sulit memejamkan mata dan merebahkan diri untuk beristirahat sejenak dari lelahnya hari. Kamu juga tidak mengerti mengapa hal tak terdefinisikan itu bersarang dalam benak dan pikiranmu. Dan kamu, terus bertanya: bagaimana aku bisa memejamkan mata dan merebahkan diri?

Kamu percaya bahwa hidup adalah sebuah misteri yang tidak kau tau bagaimana esok kau akan menjalaninya. Bahkan pukul 6 pagi nanti kamu juga tidak tau apa yang akan kau jalani. Kamu pun percaya bahwa hidup adalah sebuah roda yang akan terus berputar saat kau menjalaninya. Terkadang kamu berada di atas, tapi terkadang kamu juga berada di bawah. Kamu selalu percaya bahwa itu semua sudah menjadi aturannya dan kamu hanya diminta untuk menghadapinya.

Sayangnya, malam ini, tunggu.. lebih tepatnya pagi ini kamu menghadapinya dengan kerumitan-kerumitan yang tidak kau tau bagaimana caranya untuk mengurainya agar kamu bisa memejamkan mata dan merebahkan diri. Kamu terus merasa gelisah sedangkan kegelisahan itu menjadi kerumitan yang tiada ujungnya. Kamu tidak tau harus apa tetapi kamu juga tidak mau melakukan apa. Kamu hanya ingin memejamkan mata dan merebahkan diri. Itu saja.

Namun, ternyata semuanya sulit, karena berulang kali kamu mencoba untuk menghadirkan rasa kantuk di matamu dan berulang kali pula kamu gagal melakukannya. Oh, bukan gagal, mungkin lebih tepatnya belum berhasil; ucapmu kepada dirimu sendiri untuk meyakinkan diri agar kamu bisa segera menghadirkan rasa kantuk itu. Kamu tidak sedang kecewa. Kamu tidak bersedih. Kamu juga tidak sedang merasakan patah hati. Hanya saja ada perasaan tidak tenang dan membuatmu terjaga malam ini.

Detik berlalu, menit berganti, jam berubah. Kamu kesulitan untuk terus mencoba memejamkan mata dan merebahkan diri, sampai akhirnya kamu membiarkan dirimu untuk merasakan kantuk dengan sendirinya. Kamu menulis di sini. Kamu menulis di buku harian milikmu. Kamu menulis dimanapun kamu bisa menceritakan segala sesuatu itu tanpa kamu merasa tidak tenang karena kepercayaanmu tidak dikhianati dan kamu merasa aman untuk menceritakan segala sesuatu itu karena kamu didengarkan oleh sesuatu yang kamu anggap tepat. Ah, lagi dan lagi, jangan suka menyimpulkan sendiri. Kepercayaan? Omong kosong belaka!

Sudah dua puluh tahun lebih kamu hidup dalam bayangan kepercayaan. Kamu tau bahwa tidak ada jaminan kepercayaan itu utuh. Kalau tidak menjadi omongan di belakang ya menjadi bumerang untuk dirimu sendiri. Rasanya enggan menutup diri dari orang lain, tapi rasanya juga tidak ingin membuka diri terhadap orang lain. Duniamu ingin kau jaga. Duniamu ingin kau selamatkan. Duniamu adalah sesuatu yang berharga yang ingin kamu selamatkan dari masa lalu yang kelam yang saat ini terus kamu perjuangkan untuk tidak terpuruk di dalamnya. Kepercayaan menjadi barang mahal dan ketika kamu memberikannya pada sesuatu yang kamu anggap tepat tetapi sesuatu tersebut mengkhianatimu, hatimu ciut. Kamu terperosok dalam bayangan kepercayaan.

Sekuat tenaga dan sekuat hati meyakinkan diri untuk kembali percaya. Dan, kamu juga mengerti bahwa kepercayaan itu seperti kaca yang apabila dipecahkan maka tidak akan kembali utuh. Kamu bisa mempercayainya kembali, namun tidak seutuhnya. Kamu bisa memperbaikinya, namun tidak akan sama. Kamu bisa mengusahakan segala cara untuk mengembalikan, namun tidak akan pernah kembali seperti semula. Kepercayaan itu yang sedang kamu jaga dalam dirimu sendiri. Kamu tau tidak ingin dikecewakan karena kamu sudah terlalu banyak menelan kekecewaan. Kamu menjaga diri untuk tidak mengecewakan karena kamu tau rasanya dikecewakan dan kamu tidak suka rasanya dikecewakan. Kamu ingin menyelamatkan dirimu sendiri dari berbagai konflik kekecewaan yang menguras pikiran dan hatimu. Namun, sayangnya, hidup akan terus berjalan dengan kekecewaan. Kalau ada harap, pasti ada kecewa. Kalau ada suka, pasti ada duka. Kalau ada senang, pasti ada sedih. Berdampingan.

Inginmu pun begitu: berdampingan. Menemukan sesuatu yang tepat untuk berdampingan menjaga kepercayaan itu sehingga kamu bisa terlelap memejamkan mata dan merebahkan diri meskipun setidaknya untuk malam ini saja. Sekali lagi, kalau kamu ingin selamanya, kamu sudah mengerti bahwa tidak ada jaminan, selamanya itu terlalu lama dan kekecewaan itu akan terus menerus menghampiri kemudian menjadi bumerang yang menyerangmu setiap kali kamu membangun kepercayaan lagi dan membawamu pada bayangan kepercayaan yang menenangkan hatimu untuk sementara waktu. Pada akhirnya kamu juga tau: kepercayaan itu omong kosong belaka!

Di ujung tulisan ini kamu mengerti bahwa kesulitanmu memejamkan mata dan merebahkan diri adalah bisikanmu terhadap apa yang kamu upayakan dalam hidupmu. Mengantarkanmu pada kedewasaan yang rasanya terlalu melelahkan dan menyebalkan. Semesta kadang sebercanda ini mengajak makhluknya untuk memikirkan kerumitan-kerumitan hidup yang ia jalani. Juga, semesta kadang sebercanda ini mengantarkanmu pada pertanyaan selanjutnya: bagaimana aku akan membangun kepercayaanku kembali?

~

Yogyakarta, 12 November 2020 | 02.00 WIB

Sabtu, 07 November 2020

Sabtu, 31 Oktober 2020

Selasa, 27 Oktober 2020

[REVIEW BUKU]: Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya – Rusdi Mathari

“Persoalannya, bagaimana kamu akan mengenali Allah sementara salatmu baru sebatas gerakan lahiriah. Sedekahmu masih kautulis di pembukuan laba rugi kehidupanmu. Ilmumu kaugunakan mencuri atau membunuh saudaramu. Kamu merasa pintar sementara bodoh saja tak punya.” – hal. 24

Kamis, 08 Oktober 2020

Jawaban



Jadi.. seperti ini rasanya setelah sekian lama memendam suatu hal yang tidak seharusnya dilakukan? Semuanya serba sendirian bahkan jika ternyata semuanya nyata pun tetap pada akhirnya kembali sendiri. Kembali terhadap diri sendiri. Mungkin ini tepatnya bukan sesuatu yang diharapkan ya, tapi semua pertanyaan selalu berdampingan dengan jawaban. Dan.. inilah jawabannya..

Jawaban dari segala pertanyaan selama ini. Satu tahun yang lalu rasanya pernah berharap yang terbaik untuknya. Satu tahun kemudian memang benar ini yang terbaik untuknya. Setelah seiring berjalannya waktu memang bukan rahasia lagi bahwa semua jalan hidup menemui jawabannya masing-masing.

Kehendakmu dengan kehendak-Nya tentu saja berbeda. Apa yang kamu inginkan belum tentu apa yang Dia inginkan. Sedangkan apa yang Dia inginkan belum tentu kamu inginkan pula. Sebelum semua terlambat, mungkin inilah jawaban terbaik untukku. Untuknya juga.

Pada akhirnya.. mendoakan yang terbaik untuknya adalah satu keharusan yang harus dilakukan. Bukan begitu?

Dan pada akhirnya.. menyadari diri sendiri telah salah melakukan suatu tindakan yang tidak seharusnya dilakukan adalah sebuah keharusan untuk dilakukan agar muhasabah diri itu bisa dilakukan sepanjang waktu. Bukan begitu?

Terakhir sekarang.. usai sudah semua pertanyaan itu.

Dan terakhir.. selamat melanjutkan perjalanan hidup kembali! :)

~

Yogyakarta, 08 Oktober 2020


Kamis, 03 September 2020

sabar. satu per satu.

Sulitnya menjadi seseorang yang terlalu sensitif terhadap segala macam persoalan terkadang menjadi bumerang bagi diri sendiri. Ada perasaan tidak tenang, ikut uring-uringan, menyalahkan diri sendiri, hingga berpikir secara berlebihan.

Dianugerahi sebuah perasaan adalah kodrat semua manusia, begitu juga dianugerahi sebuah pemikiran. Apa jadinya jika manusia hanya berakal saja tanpa berperasaan? Sudah pasti manusia akan perang pemikiran setiap hari tanpa ada rasa mau mengalah, karena diantara satu sama lain merasa paling mengetahui terhadap suatu persoalan. Padahal kan untuk mencapai titik kerjasama dengan manusia lain, terkadang diri sendiri juga perlu menurunkan ego dan perlu berpikir dari sudut pandang yang lain. Ya, untuk itulah manusia dianugerahi pemikiran maupun perasaan, bukan?

~

Sepemahamanku, menjadi seseorang yang sensitif itu sangat menyakitkan. Kadang cemas, kadang khawatir, kadang takut, dan perasaan lainnya yang sangat membebani perasaan. Iya memang.. menjadi seseorang yang sensitif membuat seseorang menjadi peka, tapi disisi lain ia juga merasakan bagaimana persoalan-persoalan sepele bagi orang lain menjadi sangat berat saat ia merasakannya sendiri. Lantas, bagaimanakah cara mengolah perasaan itu agar tidak membebani bahkan menyakiti diri sendiri? Apa dengan bilang “nggak apa-apa” ke diri sendiri saja udah cukup? Atau berhenti sejenak untuk mengambil jeda saja sudah cukup? Atau mendiamkannya saja agar nanti bisa hilang dengan sendirinya itu suatu pilihan yang baik?

Huh.. ternyata ada banyak sekali pertanyaan yang muncul saat mengajak bicara terhadap diri sendiri. Tidak jarang hingga banyak sekali hal yang sebenarnya sudah ada jawabannya tetapi rumit karena ada pertanyaan lain yang muncul. Juga, tidak jarang menjadi kewalahan untuk mencari dan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut yang ternyata tidak cukup dengan waktu sebentar.

~

Ada kalanya merasa capek dengan perasaan sendiri, tapi ada kalanya juga tidak ingin menyerah terhadap perasaan sendiri. Apalagi jika posisinya menjadi seseorang yang sering dijadikan sandaran bagi orang lain, menjadi seorang pendengar bagi orang yang bercerita, menjadi seseorang yang lebih banyak menyimak daripada berbicara. Semua sangat melelahkan jika sudah melibatkan perasaan. Ada kalanya seorang pendengar juga ingin didengarkan. Ada kalanya ia lelah dan ingin dipedulikan pula. Tidak perlu dibelikan makanan atau barang-barang tertentu, cukup dekati dia dan tanya: kamu baik-baik saja?. Itu sudah cukup.. dan selalu.. aku merasa cukup dengan itu.

Lalu, ada kalanya pula tidak ingin menyerah karena ingin segera membebaskan perasaan yang menyelimuti hati dan menganggu pikiran. Tidak ingin menyerah karena suatu alasan yang jelas: tidak ingin menyakiti diri sendiri dengan berlarut-larut dalam suatu persoalan. Kalau bisa diselesaikan segara mengapa harus menundanya? Kecuali, jika ada persoalan yang memang membutuhkan waktu yang cukup banyak. Ya mau bagaimana lagi.. mau tidak mau harus pelan-pelan menyelesaikannya. Aku jadi teringat dengan percakapan Kale terhadap Awan dalam film Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini (NKCTHI): “sabar. satu per satu.” Ini persis dengan apa yang terjadi saat ini! 😣
~
Yogyakarta, 03 September 2020
Terinspirasi dari menyelesaikan sebuah persoalan.

Rabu, 02 September 2020

dua sisi

Ada suatu perasaan untuk memilih menyalahkan diri sendiri. Menyalahkan semua yang terjadi karena diri sendiri, bukan orang lain. Kejadian di masa lalu, kejadian saat ini, bahkan mungkin kejadian yang terjadi nanti.. ingin sekali rasanya untuk memilih menyalahkan diri sendiri saja.

Selasa, 01 September 2020

ada perasaan yang diam-diam mengendap


Kenangan. Sesuatu yang mengingatkan kita pada kejadian-kejadian yang telah terjadi di masa lalu. Kejadian yang menyenangkan, kejadian yang memalukan, kejadian yang mengecewakan, hingga kejadian yang menyedihkan. Kenangan bisa mengembalikan sesuatu yang manis, tetapi juga bisa mengembalikan sesuatu yang pahit ke dalam ingatan.

Senin, 31 Agustus 2020

Senin, 24 Agustus 2020

Rabu, 05 Agustus 2020

Setengah Tahun Ini (2020)

Welcome, August! 

Agustus kembali menyapa dengan keadaan lumayan baik. Setengah tahun ini rasanya berat, selain karena sedang ada pandemi covid-19, juga sedang menghadapi krisis hidup. Iya, aku fresh graduate sekarang. Bulan Februari lalu menyelesaikan pendadaran dan sampai saat ini belum memiliki pekerjaan. Tidak mengapa, aku menggunakan waktuku untuk kembali belajar banyak hal.

೦೦೦೦೦

Kamis, 30 Juli 2020

Sabtu, 25 Juli 2020

Sabtu, 11 Juli 2020

[REVIEW BUKU]: Laki-laki Memang Tidak Menangis, Tapi Hatinya Berdarah, Dik - Rusdi Mathari

"Tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni. Begitu kata penyair Sapardi Djoko Damono. Sekarang sudah bulan Juli, tapi hujan masih terus deras membasuh tanah. Ia bukan saja tabah dan membiarkan yang tak terucap diserap akar pohon bunga itu, tapi juga nekat." - hal. 67

Selasa, 30 Juni 2020

(Masih) Tentang Menikah

Halo, teman-teman semuanya! 
Tulisan kali ini saya ingin berbagi dan bercerita, mungkin bisa sambil curhat, hehe. Masih membahas tentang hal yang sama yaitu menikah, mungkin anggap saja sebagai kenang-kenangan kalau suatu saat saya memutuskan untuk menikah atau anggap saja sebagai pandangan saya mengenai pernikahan.


Jumat, 26 Juni 2020

Sabtu, 06 Juni 2020

[REVIEW BUKU]: Membaca Kisah Cinta Tak Pernah Tepat Waktu - Puthut EA

“Kenangan. Ia bisa datang dari apa saja, dari mana saja, seperti setan. Ia bisa menyentak ketika kita sedang mengaduk minuman. Ia bisa menerabas hanya lewat satu adegan kecil di film yang sedang kita tonton. Ia bisa menyeruak dari sebuah deskripsi novel yang sedang kita baca. Ia bersemayam di mana-mana, di bau parfum orang yang bersimpangan dengan kita, di saat kita sedang termangu di pantai, di saat kita sedang mendengarkan lagu.”


Judul Buku:  Cinta Tak Pernah Tepat Waktu
Penulis:  Puthut EA
Penyunting: Eka Kurniawan
Penerbit:  Buku Mojok
Tebal  Buku:  256 halaman
Terbit:  Cetakan ketujuh, Januari 2018
ISBN:  978-602-1318-55-3
IDR:  78.000

SINOPSIS        :
Aku tak ingin cinta sejati. Tapi biarkan aku mencicipi cinta yang bukan hanya sesaat. Biarkan aku berjuang dan bertahan di sana. Biarkan aku tersiksa untuk terus belajar bersetia. Aku rela tenggelam di sana, sebagaimana segelintir orang yang beruntung mendapatkannya.

REVIEW        :
Ini pertama kalinya saya membaca buku karya Puthut EA dan itu membutuhkan waktu yang cukup lama. Buku ini saya beli setelah bulan Ramadhan tahun 2018 dan beberapa hari yang lalu saya baru saja merampungkan membaca buku ini. Ketika saya sudah selesai membacanya.. saya benar-benar dibuat takjub!

೦೦೦೦೦

Buku Cinta Tak Pernah Tepat Waktu menceritakan tentang tokoh “aku”, seorang laki-laki yang sudah memasuki usia untuk menikah dan lingkungan keluarganya sudah berulang kali menyampaikan hal tersebut padanya. Ia merasa terganggu dengan hal itu dan memilih menghindar dengan menyiapkan jawaban-jawaban untuk orang tuanya dan saudara-saudaranya.

Kegalauannya tentang menikah karena ia mengalami kegagalan dalam hubungannya. Beberapa perempuan yang ia dekati hanya untuk main-main saja. Ia tidak pernah serius karena hidupnya sendiri tergolong serampangan. Ia tidur saat orang lain beraktivitas, sedangkan ia aktif saat orang lain beristirahat. Perempuan-perempuan yang ia dekati dikiriminya SMS maupun surat, sebagian mau membalasnya tetapi sebagian yang lain malas membalas karena risih dikirimi SMS maupun surat yang tidak jelas kelanjutannya.

“Sudah lama aku tidak jatuh cinta. Sudah lama aku bertekad untuk menyingkirkan cinta dari kehidupanku. Tidak untuk cinta. Tidak untuk hal ihwal cinta yang cenderung kuanggap menjijikkan. Aku pikir, aku sudah sampai pada keputusan final tentang cinta: omong kosong!”. (hal. 43)

Ada saat-saat dimana ia beruntung, perempuan yang dikiriminya SMS mengajak untuk bertemu. Namun, setelah pertemuan itu dirinya masih tidak mampu menjawab pertanyaan tentang perasaannya kepada perempuan itu. Tentu saja perempuan tidak mau digantung, perempuan selalu membutuhkan sebuah kepastian. Lagi-lagi, ia tidak beruntung.

Masalahnya bukan ketidakseriusannya pada setiap perempuan yang didekatinya. Dia hanyalah seseorang yang sedang bermasalah dengan dirinya sendiri. Dia adalah seseorang yang belum selesai dengan masa lalunya. 

೦೦೦೦೦

Buku setebal 256 halaman ini dibagi menjadi 15 bab dengan rangkaian cerita acak dan menggunakan alur campuran (maju-mundur). Awalnya saya mengira buku ini merupakan kumpulan cerita pendek karena pada setiap bab saya sering mendapati cerita yang berloncatan, tetapi ternyata ketika membaca lebih lanjut saya menemukan kesinambungan setiap cerita. 

Penulis menggambarkan tokoh utama sebagai seseorang yang bermasalah dengan dirinya sendiri sekaligus seseorang yang memperumit dirinya sendiri. Seperti saat tokoh “aku” memposisikan dirinya menghadapi perempuan yang meminta kepastian darinya, disana tokoh “aku” digambarkan sebagai seseorang yang kelimpungan menjawab pertanyaan itu. Alih-alih memberi kepastian, ia justru memberi jawaban lain yang membuat perempuan tersebut menganggap kalau ia sangat menyebalkan. Pemikirannya yang rumit membuat pembaca ikut kesal saat membacanya. (Ini kalau kata warganet Twitter: “pengen tak hih!” 😠😂)

Atau saat tokoh “aku” menghadapi kenangan yang sering mendatanginya. Ia menjadi seseorang yang menikmati kenangan seakan-akan tidak ingin beranjak dari sana. Sialnya lagi, setiap badai kenangan itu turun, ia hanya mempunyai satu kepastian: rasa sedih yang menyesakkan (hal. 167). Hal inilah yang membuat tokoh “aku” menjadi seseorang yang tidak semangat menjalani hidupnya, mudah menyerah, dan mudah putus asa menghadapi ketidakberesan dalam dirinya sendiri.

Dalam buku ini, penggambaran tokoh “aku” diceritakan pada satu bab berjudul Bab Khusus, Tentang Kamu, Untuk Kamu. Penulis menceritakan tokoh aku tentang bagaimana ia dengan pekerjaannya, bagaimana ia dengan Tuhan dan agama, bagaimana ia mengelola stres, bagaimana ia dengan hidupnya untuk tidak berlebihan, dan bagaimana ia merespon isu sosial di lingkungannya. Bab ini menceritakan tokoh aku dengan kata ganti “kamu”, menurut saya, ini semacam tokoh “aku” sedang menceritakan tentang dirinya sendiri melalui kata ganti “kamu”, sehingga yang dituliskan dalam cerita itu semacam refleksi dirinya sendiri.

Bagi saya sendiri, bagian menarik dari buku ini adalah cerita tentang surga-surga kecil. Tokoh “aku” dalam buku ini memiliki surga-surga kecil atau tempat-tempat yang menurut saya merupakan tempat dimana tokoh “aku” menyembuhkan ketidakberesan dalam dirinya. Surga-surga kecil itu berada di Malang, rumah Tante Wijang–dimana Tante Wijang adalah saudara dari Lia, mantannya. Surga kecil di rumah Tante Wijang juga sebagai tempat dimana tokoh “aku” mengenal meditasi dan yoga, salah satu cara untuk menenangkan dirinya sendiri. 

Surga kecil selanjutnya ada di Bandung, sebuah toko buku kecil yang didirikan oleh anak muda yang ingin membuat komunitas alternatif. Lalu masih ada surga kecil di Pacitan yang merupakan sebuah desa budaya, kemudian di Sleman yaitu rumah Mas Truno seorang petani yang cerdas dan kritis, dan terakhir surga kecil di Banyuwangi yaitu sebuah rumah terapung. Surga-surga kecil itu seperti penyegaran dalam buku ini karena tokoh “aku” menyukai tempat-tempat tersebut hingga membuat saya terhanyut dalam cerita dan membayangkan saya berada di tempat-tempat itu. (Duh.. asyik kalau beneran! 😄)

Bagian yang membuat saya benar-benar takjub dengan buku ini ada pada bab terakhir. Ternyata, tokoh “aku” adalah seseorang diantara Puthut EA, Muhidin M. Dahlan, dan Eka Kurniawan–beberapa penulis besar di Indonesia. Saya jadi mengira-ngira bahwa tokoh “aku” bukan tokoh fiksi semata, melainkan benar-benar ada di dunia nyata dan buku ini adalah cerita nyata bukan hanya novel saja. Saya tidak tahu bagaimana lebih jelasnya, tapi saya penasaran, hehehe.

Kekurangan buku ini terletak pada ceritanya yang acak dan berloncatan. Kalau tidak benar-benar fokus membaca malah dibuat bingung sama seperti apa yang saya alami saya pertama membaca buku ini. Tetapi secara keseluruhan, saat membaca lebih lanjut akan menemukan jalan untuk dapat menikmati buku ini. 

Saya merekomendasikan buku ini bagi teman-teman yang senang membaca kisah sendu mengenai percintaan dan bagi teman-teman yang menyukai sebuah novel dengan gaya bahasa yang puitis. Saya memberi 4 bintang untuk buku Cinta Tak Pernah Tepat Waktu ini.

Terima kasih sudah membaca. Sampai jumpa di review buku selanjutnya, ya! 😊🙏

KUTIPAN TERBAIK
“Jangan biarkan aku membenci diriku terus-menerus. Jangan biarkan. Aku hanya ingin sedikit sembuh, dari dunia yang sakit ini. Aku tidak ingin cinta yang sejati. Tapi, biarkan aku mencicipi cinta yang bukan sesaat. Biarkan aku berjuang dan bertahan di sana. Biarkan aku tersiksa untuk terus belajar bersetia. Aku rela tenggelam di sana, sebagaimana segelintir orang yang beruntung mendapatkannya. Sesungguhnya, aku hanya ingin kebahagiaan yang sederhana.” – hal. 8

Sabtu, 09 Mei 2020

Tentang Menikah


Halo, selamat berjumpa lagi! 

Kalau biasanya saya membahas tentang ulasan suatu buku, kali ini saya ingin membahas tentang suatu hal yang dekat dengan saya pribadi kemudian saya kaitkan dengan buku yang akhir-akhir ini sedang saya baca.

Selasa, 14 April 2020

Buku-Buku Berkesan Tahun 2019

Halo, selamat malam semuanya! 

Lama sekali tidak menulis blog membuat saya lupa bagaimana menulis blog dengan gaya santai, lambat laun selama #DiRumahAja membuat saya membiasakan diri untuk menulis kembali. Saya membiasakan diri untuk menuangkan apa saja isi kepala saya di buku harian, karena menurut saya---dan tentu saja semua orang---buku harian bisa menampung segala keluh kesah kita. Walaupun suatu saat ketika saya membacanya lagi, saya akan tertawa mengingat kebodohan diri sendiri.

Bercerita tentang satu tahun yang lalu, tahun 2019 membuat saya tidak akan melupakan perjalanan akhir tentang menyelesaikan studi. Meskipun sebenarnya baru selesai di bulan Februari tahun 2020, tetapi perjalanannya sangat terasa di tahun 2019. Saya pernah menceritakan hal tersebut di postingan sebelum ini bahwa saya bisa menyelesaikan membaca buku tepat pada akhir lalu, Desember 2019. Di awal tahun 2020 sampai saat ini saya masih mencoba untuk membiasakan diri membaca buku, huh.. rasanya berat bagi saya meninggalkan dunia karya ilmiah! L

Saya teringat dengan target tumpukan buku yang harus saya selesaikan di tahun ini, karena beberapa buku saya pinjam tetapi belum saya selesaikan. Astagfirullah, tolong besok-besok jangan dipinjami buku ya, gaes! Anaknya nggak tau diri gini. Selama #DiRumahAja saya berusaha menuntaskan buku bacaan saya dengan mengutamakan buku yang dipinjam dulu, baru berganti dengan buku-buku pribadi.

Sebelum itu, di postingan ini saya ingin me-review buku-buku yang menemani perjalanan selama tahun 2019. Beberapa ada yang sudah di-review, tetapi ada juga yang belum. Bukunya apa saja? Berikut ini daftarnya:

  1. Rules Of Love – Panduan Cinta No Baper Baper Club
    Buku karya mbak Esty Dyah Imaniar menjadi buku paling berkesan. Buku yang membuat perjalanan saya di tahun 2019 semakin berwarna karena buku ini merupakan buku self-improvement pertama yang saya selesaikan sekaligus menjadi obat bagi diri sendiri. Saya senang sekali sewaktu menuntaskan membaca buku ini, saya tidak kecewa ketika memutuskan random buying waktu berjalan-jalan di Gramedia. Justru saya bersyukur pernah melakukan random buying dan mendapatkan buku ini. Sangat bermanfaat sekali bagi saya! 
    Review tentang buku Rules Of Love disini: [REVIEW BUKU]: RULES OF LOVE - PANDUAN CINTA NO BAPER BAPER CLUB 

  2. Kambing & Hujan
    Satu buku karya Mahfud Ikhwan yang teracuni oleh salah satu booktuber favorit saya. Waktu menonton review bukunya saya jadi tertarik untuk membacanya. Akhirnya saya memutuskan untuk mencari dan membaca buku tersebut. Amazing! Membacanya saya ikut bergumam berkali-kali. Terlebih cerita ini secara tidak langsung masih dapat ditemui dalam lingkungan sekitar kita. Banyak sekali yang hal yang saya dapatkan dari buku ini. Puas dan senang!
    Review buku Kambing & Hujan disini: [REVIEW BUKU]: KAMBING & HUJAN - SEBUAH AJAKAN HARGAI PERBEDAAN 

  3. Hellogoodbye – Ayuwidya
    Buku yang diangkat dari sebuah film dengan judul yang sama. Buku ini menjadi pembuka tahun 2019, saat itu. Saat itu saya sedang mengunjungi perpustakaan daerah untuk meminjam buku, karena sedang ingin membaca buku ringan, akhirnya saya memutuskan untuk meminjam buku ini. Saya mengetahui buku hellogoodbye justru setelah saya menonton filmnya. Saya mengira dulu filmnya dibuat berdasarkan bukunya, ternyata terbalik. Film dulu, baru buku. Baik film maupun bukunya, menurut saya sarat makna sekali!
    Review buku tentang hellogoodbye disini: [REVIEW BUKU]: hellogoodbye - Memaknai Pertemuan dan Perpisahan 

  4. Arah Musim
    Buku pertama yang diterbitkan dengan kerjasama oleh salah satu penerbit, Bentang Pustaka. Buku Arah Musim karya Kurniawan Gunadi atau biasa dikenal dengan sebutan Mas Gun. Buku yang bukan pertama kalinya saya baca karya beliau. Buku ini menjadi buku penutup tahun 2019. Sekaligus buku terakhir yang saya tuntaskan waktu itu. Buku yang membantu saya untuk mendewasakan diri dalam fase quarter life crisis. Belum sempat saya review, namun bagi saya buku ini berkesan untuk menutup tahun 2019.

Ke-empat buku tersebut menjadi buku paling berkesan bagi saya. Ada buku lain yang membuat saya berkesan, namun yang paling memberi dampak terhadap kehidupan saya adalah ke-empat buku itu. Senang menuntaskan berbagai buku yang efeknya bisa dirasakan secara langsung di kehidupan sehari-hari.

Tahun 2019 saya juga ingin membaca buku genre non-fiksi, tetapi saya masih kewalahan membiasakan diri dengan genre tersebut. Selama ini saya selalu membaca genre fiksi, oleh karenanya saya lebih menyukai genre fiksi daripada non-fiksi. Akhirnya saya mencoba beradaptasi dengan membaca satu buku fiksi, kemudian membaca buku non-fiksi. Harapan saya di tahun 2020 ini tentu saja ingin menyelesaikan tumpukan buku dan membaca buku lebih banyak lagi. Semoga bisa, yaaa. Semogaaa! Harus! J

Terima kasih sudah membaca dan sampai jumpa di postingan selanjutnya. See yaaa! J

Rabu, 08 April 2020

Welcome, 2020!

Halo, selamat berjumpa lagi teman-teman! 

Selamat datang kembali di blog yang sudah lama tidak terurus ini. Tulisan terakhir saya dimuat pada bulan November 2019, sedangkan saat ini sudah bulan April 2020. Ternyata sudah lama sekali tidak produktif menulis di blog ini. Ada beberapa alasan yang menyebabkan saya tidak produktif menulis, salah satu alasannya karena saya sedang mengalami writers block. Apa sih writers block itu? Nah, dalam pemahaman saya, writers block adalah suatu kondisi di mana seorang penulis kesulitan untuk menuangkan ide dan gagasannya dalam bentuk tulisan, ia merasa buntu sehingga ide dan gagasan yang ada di pikirannya sulit untuk dituliskan.
Sumber: Dokumen Pribadi

Dulu saya mengira kalau writers block hanya dialami oleh penulis-penulis besar, ternyata itu terjadi pada diri saya sendiri, huhu. Tentu saja saya tidak bisa menyebut diri saya sebagai seorang penulis, saya cuma tukang cerita curhat maupun curcol di media sosial, salah satunya di blog ini. Bisa dilihat ya tulisan saya hampir semuanya curhat dan curcol, termasuk tulisan ini, wkwk. Kembali ke topik, saya sebetulnya mengalami writers block karena saya sedang menulis karya ilmiah, iya.. apalagi kalau bukan skripsh*sweet, hehe. Menulis di blog seperti ini bisa menggunakan kosa kata bebas, sedangkan menulis karya ilmiah harus menggunakan kosa kata ilmiah. Saya betul-betul merasakan bagaimana perbedaan antara menulis bebas di blog dengan menulis karya ilmiah skripsi. Nah, dari situlah masalah bermula.. saya jadi jarang menulis lagi di blog, saya justru aktif menulis skripsi. Saking aktifnya saya sampai lupa kalau harus mengurusi blog. Akhirnya.. ya saya baru menulis lagi sekarang, huhu :’(

Saya tidak menyesalinya, karena memang ada hal penting yang harus saya prioritaskan. Tentu saja saya mengingat bahwa saya mengejar sesuatu yang sudah menjadi target dalam timeline waktu saya. Bagi saya skripsi menjadi suatu hal yang saya prioritaskan karena skripsi merupakan tantangan terakhir untuk menyelesaikan masa studi. Skripsi menyita perhatian saya hampir 24/7 karenanya kemanapun dan apapun keadaannya, saya tetap terus kepikiran skripsi. Memang benar, dalam hal ini saya terlalu khawatir!

Dalam postingan kali ini saya ingin bercerita terkait kegiatan saya di beberapa bulan terakhir. Saya tidak ingin menceritakan detail-nya seperti apa, karena sebetulnya setiap kegiatan yang saya lakukan akhir-akhir ini sudah saya ceritakan melalui instagram story. Meski tidak sepenuhnya saya ceritakan, karena instagram story juga memiliki keterbatasan, sehingga tidak leluasa bercerita seperti di blog.

Pertama, saya mulai menulis skripsi pada bulan September 2019, waktu itu saya sudah semester tujuh dan sudah memenuhi SKS untuk mengambil skripsi. Akhirnya, saya memutuskan untuk menulis mulai periode semester tersebut. Bulan-bulan awal mengerjakan skripsi bagi saya masih merumitkan hal-hal dasar seperti menentukan topik penelitian, menentukan objek penelitian, menentukan judul penelitian, dan yang terpenting---tentu saja akan saya ingat selalu---adalah menentukan jenis penelitian yang akan saya lakukan. Saya ingat sekali waktu itu ingin mengerjakan skripsi dengan metode pendekatan kualitatif, dimana dengan metode pendekatan tersebut saya akan lebih banyak membangun narasi/kalimat yang cenderung saya kuasai dibandingkan metode pendekatan kuantitatif. Sayangnya, dan beruntungnya, teman saya dan kakak tingkat saya menyarankan untuk menggunakan metode penelitian kuantitatif, karena setelah saya pertimbangkan kembali permasalahannya bukan karena saya menguasai metode pendekatan yang mana, tetapi ada pada permasalahan dalam objek penelitian yang sudah saya tentukan. Harus saya akui kalau hal ini saya temukan setelah bertanya pada orang-orang terdekat saya yang pernah mengerjakan hal yang sama dan---tentu saja dengan berat hati---saya memilih untuk mengubah metode pendekatan penelitian. Bagi saya, itu sangat memengaruhi kondisi psikis dan fisik saya. Psikis saya diserang dengan keraguan menentukan metode pendekatan penelitian, sedangkan fisik saya diserang oleh beberapa masalah---selain skripsi---yang terjadi waktu itu. Saya lelah dan saya mencoba berdamai dengan diri saya sendiri. 

Kedua, pada bulan awal menulis skripsi juga masih sanggup bepergian karena saya tidak ingin pusing berhadapan dengan karya ilmiah. Saya masih bisa main dengan teman saya, dengan adik tingkat saya, dan tentu saja saya masih bisa baca buku serta me-review buku. Hanya itu terjadi sampai pada bulan November 2019. Pada bulan Desember 2019, saya masih sanggup menyelesaikan membaca satu buku yang menurut saya menarik dan saya sedang dikejar oleh acara bedah buku. Pikir saya adalah bagaimana mungkin mengikuti acara bedah buku sementara saya belum membaca bukunya? Saya cuma tidak ingin melewatkan diskusi dengan penulisnya terkait isi buku tersebut. Saya salah besar! Tidak setiap orang yang datang pada acara bedah buku itu sudah membaca buku tersebut, karena itu juga terjadi pada kenalan saya (sekaligus orang yang ingin saya temui setelah acara bedah buku selesai). Wkwk, mengingat hal ini membuat saya malu sekaliii. Sekali saja, ya! xD

Setelah bulan Desember 2019, saya sudah mendapatkan data yang akan saya olah. Proses yang cepat, bukan? Tidak. Proses saya berjalan lambat karena pada bulan Januari saya beberapa kali harus menyambangi rumah sakit karena sakit yang seringkali kambuh. Ini menjadi pengingat bagi saya sendiri untuk tidak memforsir maupun memaksakan diri. Saya paham sekali dengan sakit yang saya alami, bukan karena fisik melainkan karena pikiran. Jujur, bulan Januari 2020 saya stres luar biasa karena beberapa hal diantaranya adalah ada semacam kewajiban dari pihak kampus yang harus dipenuhi sebelum lulus dan hal tersebut disampaikan dalam jangka waktu yang singkat sebelum hari-H pelaksanaan, lalu saya juga mendapatkan tantangan dari dosen pembimbing. Bagi saya tidak apa-apa, tetapi setelah saya menyadarinya, hal yang saya anggap tidak apa-apa, ternyata justru apa-apa. Saya tidak sadar kalau hal itu membuat saya kelimpungan sendiri terkait apa-apa yang harus saya kerjakan terlebih dahulu; belajar untuk mempersiapkan diri memenuhi kewajiban sebelum lulus atau menulis skrispi melanjutkan tantangan. Dua hal yang tidak mudah untuk saya hadapi dalam kurun waktu satu bulan di Januari 2020.

Tekanan makin menjadi ketika mendengar kabar kalau periode pendadaran di kampus saya dipercepat. Sehingga, seharusnya periode pendadaran dibuka pada akhir bulan Februari, ternyata dipercepat menjadi awal Februari. Saya makin menjadi dan makin tidak karuan memikirkan timeline waktu yang sudah saya tetapkan. Huh, mengingatnya saya masih ingat betapa sedihnya saya waktu itu hanya bisa menangis sepanjang malam. Ok, saya lebay, maaf! Tetapi yang harus kita tau, terkadang terlalu fokus dengan target yang ingin kita capai membuat kita lupa untuk memasrahkan segala hal pada yang diatas sana. Kita berpikir bahwa jalan hidup akan sesuai dengan rencana kita, padahal tidak.. kita cuma bisa berencana, selebihnya untuk menjalani rencana tersebut kita perlu untuk memasrahkan pada Dia, nanti kalau ternyata jalannya tidak sesuai dengan rencana.. kita sudah siap untuk menerimanya.

Kejadian-kejadian itu mendewasakan saya bahwa ada hal-hal yang tidak sesuai dengan apa yang sudah saya rencanakan. Sesederhana itu saja, tetapi saya lupa bahwa hal itu sebenarnya saya sudah pahami, hanya karena saya mempunyai target dan terlalu fokus serta ambisius terhadap target tersebut, saya lupa kuncinya adalah let it flow. Biarkan itu mengalir. Apa adanya. Tidak perlu disesali dan tidak perlu disambati. Tetapi saya juga lupa, kalau yang sulit dihadapi adalah menenangkan diri sendiri. Orang-orang terdekat saya membantu menenangkan saya, tetapi yang sebenarnya harus saya hadapi adalah diri sendiri yang sulit untuk menerima. Iya, ruang penerimaan dalam diri itu sulit dimengerti. Ada beberapa hal yang mudah untuk diterima, namun beberapa hal yang lainnya sulit untuk diterima. Akhirnya, saya mengerti bahwa yang sulit bukanlah memahami orang lain, melainkan memahami diri sendiri.

Ketiga, di bulan Februari 2020, akhirnya saya menantang diri saya sendiri untuk bangkit. Membiarkan saya melewati Januari 2020 dengan stres yang bercokol di kepala. Saya ingin meninggalkannya, tetapi saya juga ingin mengambil sisi positifnya seperti yang saya ungkapkan pada paragraf sebelum ini. Di bulan ini, saya sudah merasa tenang karena beberapa hal sudah saya lewati, pertama saya sudah memenuhi kewajiban sebelum saya lulus, kedua saya sudah menyelesaikan tantangan skripsi, hanya tinggal revisi sedikit di beberapa bagian, tetapi bukan bagian krusial. Semua sudah saya lakukan dan saya penuhi, lalu saya mendaftarkan diri untuk mengikuti pendadaran di akhir bulan Februari. Ternyata tidak sampai disitu.. saya belum tenang karena beberapa waktu sebelum hari-H pendadaran saya masih menjalani kegiatan ini-itu termasuk mengerjakan proyek penelitian dari dosen pembimbing. Hah, baiklah.. saya tipikal orang yang santai terhadap ujian. Bukan menyepelekan, hanya saya tidak ingin dibuat stres oleh ujian. Pengalihan perhatian saya tertuju pada kegiatan-kegiatan yang tidak begitu menguras otak dan tenaga. 

28 Februari 2020: akhirnyaaa, didadar!

Momen yang sebenarnya tidak amat mendebarkan, karena saya justru takut kalau deg-degan. Jadi saya terus meyakinkan diri berkali-kali untuk tetap tenang.. itu membantu saya tetap berpikir positif tentang hal yang saya hadapi. Terlebih sebenarnya saya sewaktu pendadaran saya menjawab lancar diawal dan akhir, tetapi saya blank ditengah-tengah. Hmmm, waktu itu saya sudah takut kalau saya tidak lulus. Puji syukur, Alhamdulillah.. akhirnya lulusss!

Momen pendadaran bagi saya juga melegakan. Itu melonggarkan hati dan pikiran karena sudah menyelesaikan masa studi saya, meskipun tentu saja masih terdapat revisi, tetapi beruntungnya revisi tidak banyak, hanya merubah angka dan memperbaiki tulisan, serta membuat jurnal skripsi. Sudah cukup itu saja, hanya membutuhkan waktu sedikit lama karena saya tidak kunjung menyelesaikan, wkwk dasar sayaaa~. Bukan apa-apa, setelah pendadaran saya ingin sedikit memberi hadiah pada diri sendiri dengan menggunakan waktu kosong untuk menekuni beberapa aktivitas yang terbengkalai selama menyelesaikan skripsi. Jadilah saya mengerjakan revisi dan membuat jurnal tanpa target, salah satu alasannya adalah wisuda saya ditunda karena adanya pandemi covid-19. Akhirnya, saya sedikit bersantai, tetapi lama lama keterusan. Eits, kalau sekarang sudah benar-benar selesai dengan urusan skripsi! xD

Lalu, setelah itu.. sebetulnya ini yang mau saya sampaikan.. iya, saya sedang mengalami mood baca yang bermasalah atau biasa disebut sebagai reading slump. Nah, kalau reading slump itu apa sih sebenarnya? Dalam pemahaman saya, reading slump adalah suatu kondisi di mana seorang pembaca buku tidak bisa fokus dan kehilangan mood untuk membaca buku, sehingga hal itu menyebabkan ia tidak bisa menikmati cerita pada buku tersebut. Selama menulis skripsi, hal yang saya hadapi adalah kata-kata dan kalimat ilmiah. Ini cenderung membuat saya menggunakan kata/kalimat baku dan memengaruhi daya pemahaman saya terhadap karya fiksi. Saya sebenarnya cenderung menyukai karya fiksi dibandingkan karya non-fiksi, karena terlalu lama berkutat dengan skripsi, akhirnya saya butuh waktu untuk membiasakan diri. 

Selama Maret 2020, saya mencoba untuk membaca kembali buku yang sangat ingin saya rampungkan karena saya mempunyai target mengurangi reading list. Ternyata hal itu susah saya penuhi, beberapa waktu membaca buku, namun gagal memahaminya. Akhirnya saya memilih untuk menonton drama Korea untuk membangun mood baca lagi, tapi itu juga masih gagal. Saya baca buku, saya nonton drama Korea. Drama Korea-nya selesai, bukunya tidak selesai. Huh, sebuah PR untuk diri saya sendiri, akhirnya kemarin.. saya memutuskan untuk membaca ulang buku karya salah satu penulis favorit saya. Lebih tepatnya saya ingin nostalgia karena buku tersebut punya kenangan tersendiri bagi saya. Harapan saya sederhana: semoga setelah ini saya bisa menuntaskan reading slump dan writers block. Aamiin paling serius! 

Akhirnyaaa, sampai disinilah cerita ini. Saya sangat berterima kasih kepada teman-teman yang membacanya sampai akhir. Jika berkenan, teman-teman bisa meninggalkan jejak di kolom komentar sebagai bentuk dukungan terhadap tulisan-tulisan saya atau sebagai dukungan agar saya aktif menulis kembali. InsyaAllah akan saya balas satu per satu. Sekali lagi saya ucapkan terima kasih dan sampai jumpa di postingan selanjutnya. See ya!