Rabu, 20 Februari 2019

Jumat, 15 Februari 2019

[REVIEW BUKU]: KAMBING & HUJAN – SEBUAH AJAKAN HARGAI PERBEDAAN

Judul Buku :  Kambing & Hujan
Penulis :  Mahfud Ikhwan
Penyunting :  Achmad Zaki
Penerbit :  Penerbit Bentang (PT Bentang Pustaka)
ISBN :  978-602-291-027-5
Tebal  Buku :  374 halaman
Terbit : Cetakan pertama (Mei, 2015)

SINOPSIS :
Miftahul Abrar tumbuh dalam tradisi Islam modern. Latar belakang itu tidak membuatnya ragu mencintai Nurul Fauzia yang merupakan anak seorang tokoh Islam tradisional. Namun, seagama tidak membuat hubungan mereka tidak baik-baik saja. Perbedaan cara beribadah dan waktu hari raya serupa jembatan putus yang memisahkan keduanya, termasuk rencana pernikahan mereka.

Hubungan Mif dan Fauzia menjelma tegangan antara hasrat dan norma agama. Ketika harus diperjuangkan melintasi jarak kultural yang rasanya hampir mustahil mereka lalui, Mif dan Fauzia justru menemukan sekelumit rahasia yang selama ini dikubur oleh ribuan prasangka. Rahasia itu akhirnya membawa mereka pada dua pilihan: percaya akan kekuatan cinta atau menyerah pada perbedaan yang memisahkan mereka.

“Novel yang menarik dan mengalir, enak dibaca.” – Ahmad Syafii Maarif, tokoh Muhammadiyah
“Bernilai sastrawi sekaligus ‘dokumentasi sosial’ yang berharga.” – Hairus Salim, budayawan Nahdlatul Ulama
“Sangat bagus. Counter atas narasi yang ingin menyeragamkan Islam dari persinggungannya dengan tradisi lokal sekaligus counter atas urban-sentrisme.” – Ronny Agustinus, pengasuh situs Sastra Alibi
“Bukan hanya asmara, tapi juga sejarah sebuah kampung, kehidupan sosial-politik, lengkap dengan tradisi keagamaan dan aspirasi modern.” – Zen Hae, penyair, kritikus sastra
“Kisah sepasang kekasih melawan kemustahilan; terpilin dalam rajutan sejarah, hubungan sosial, dan persaingan paham agama.” – Darmanto Simaepa, kandidat Ph.D. Antropologi Universitas Leiden
“Saya sangat menyarankan Anda untuk membaca novel ini.” – Wahyu Adi Putra Ginting, kritikus sastra, redaktur Mediasastra.com

REVIEW :
Amazing! Saya tidak berhenti bergumam ketika membacanya. Novel ini seperti mempunyai daya magis untuk menarik saya agar tetap membacanya sampai akhir. Berawal dari review seorang booktuber panutan saya: Sophia Mega (teman-teman bisa cek blog-nya di link tersebut), akhirnya saya mencomot satu buku ini di perpustakaan. Hmm, saya belum beli karena baru beli buku lain. 😭

First impression saya sewaktu pertama kali mendengar judulnya adalah “heh? apa hubungannya?”, jelas tidak ada hubungan antara kambing & hujan, sebagaimana paham kita sehari-hari, tetapi jika kita amati makna antara kambing & hujan, keduanya adalah simpulan dari novel ini. Menarik! 😍

೦೦೦೦೦

Novel setebal 373 halaman ini bercerita tentang Miftahul Abrar (Mif) yang hendak melamar kekasihnya, Nurul Fauzia (Zia). Dua-duanya adalah anak dari dua tokoh pemuka agama di Centong---sebuah desa di daerah Jawa Timur. Baik Mif maupun Zia, sama-sama mengutarakan maksudnya kepada orang tuanya masing-masing. Dan, jawabannya, baik Pak Kandar ataupun Pak Fauzan, merasa keberatan akan hal tersebut.

Mif pun tidak berhenti untuk meminta restu dari bapaknya, begitu pula Zia. Dari sinilah, gerbang masa lalu itu terkuak. Kedua orang tuanya ternyata menyimpan masa lalu yang kelam dan berliku. Is (sebutan untuk Pak Kandar) dan Mat (sebutan untuk Pak Fauzan) adalah dua orang sahabat semasa remaja. 

Waktu itu, tahun 60’an, Is dan Mat menimba ilmu di SR (Sekolah Rakyat) yang diperuntukkan siswa di desa untuk menimba ilmu. Selepas SR, keduanya berpisah, Is tidak melanjutkan sekolahnya karena tidak memiliki biaya. Sedangkan Mat, yang keluarganya berkecukupan, melanjutkan sekolahnya ke Jombang. Meski Is tidak bersekolah, ia tetap belajar sendiri sembari menggembala kambing, sementara Mat pun memperdalam ilmunya kelak saat pulang dari pondok ia akan membaginya dengan Is.

Suatu ketika, Cak Ali datang ke Centong. Kedatangan Cak Ali diterima dengan baik oleh masyarakat Centong. Cak Ali pun sedikit demi sedikit mengajarkan ilmu agama disana. Hal ini menurut Is merupakan kesempatan bagus untuk belajar agama, yang kemudian dia menjadi murid Cak Ali. Tetapi, alangkah kecewanya para orang tua ketika mengetahui adanya perbedaan dari Cak Ali, dia sholat Subuh tanpa qunut, cara dzikirnya berbeda, dan doa-doa yang dibacanya. Cak Ali, Is, dan beberapa temannya dianggap menyesatkan, sampai pada suatu hari mereka diusir dari masjid dan menyebabkan terbelahnya dua masjid. Cak Ali, Is, dan teman-temannya dengan masjid Utara, sedangkan akhirnya, Mat (Pak Fauzan) diminta meneruskan masjid Selatan. 

Perbedaan tersebut juga akhirnya membelah pandangan masing-masing masjid, masjid Utara dengan pandangan NU (Nahdhlatul Ulama) dan masjid Selatan dengan pandangan Muhammadiyah. Dan, sampai 40 tahun kemudian, pandangan tersebut masih sama. Masih membelah antara dua masjid. Antara dua sahabat; Is dan Mat.

೦೦೦೦೦

Dikemas dengan gaya bahasa yang puitis, ceritanya membuat saya tersentuh dan terharu. Novel ini fiksi, tetapi terasa seperti membaca sejarah. Menurut saya, novel ini terasa dekat dengan kehidupan sehari-hari, mungkin karena saya orang desa? 😂 Dan, karena keluarga maupun saudara saya pun berada dalam dua pandangan tersebut, sehingga saya belajar keduanya. Jadi, saya yakin kalau teman-teman belajar kedua pandangan itu, akan merasakan kesamaannya ketika membaca buku ini.

Menggunakan alur flashback, ceritanya tetap dapat dinikmati secara mengalir. Dan juga, menggunakan sudut pandang orang ketiga, sehingga pembaca dituntut untuk jeli, karena pada setiap bagian, sudut pandang tokohnya selalu berganti. Kadang menggunakan sudut pandang tokoh Is, terkadang menggunakan sudut pandang tokoh Mat. Berganti-gantian seperti sedang didongengkan oleh beliau-beliau, hehe.

Cerita yang dihadirkan pun dipaparkan secara runtut, dari awal sampai akhir. Mulai dari pengantar cerita, konflik cerita, penyelesaian, hingga penutup cerita semuanya disusun dengan pas. Dari segi kisah Mif dan Fauzia bisa mendampingi kisah Is dan Mat bersamaan, kedua-duanya berpadu dengan lengkap, sehingga membentuk cerita yang utuh.

Kekurangannya bagi saya hanyalah font yang digunakan, pada pembuka cerita---yang kemudian pada halaman 243 dilanjutkan lagi---terjadi perubahan font. Saya mengira itu masih menggunakan sudut pandang Is atau Mat, ternyata sudah menggunakan sudut pandang  Mif.

Dari novel Kambing & Hujan, ada beberapa pelajaran yang dapat saya petik, diantaranya :
  1. “Pernikahan itu melibatkan dua pihak. Dua keluarga. Jikapun bapakmu atau ibumu tidak ada masalah, kita juga harus mengira-ngira apakah kamu atau keluargamu disukai atau tidak.” – sebuah nasihat dari pak Kandar untuk Mif mengingatkan saya akan pernikahan, meski sejatinya yang menikah itu terjalin antara calon pria maupun calon wanita, tetapi keluarga juga tidak boleh dikesampingkan.

  2. “Menjadi orang Islam modern itu bukan berarti mengabaikan semua hal yang tidak masuk akal, tahu kalian? Apalagi akal kalian yang cuma seupil itu! Berpikiran maju itu tidak berarti hal-hal yang berasal dari masa lalu itu kemudian diabaikan! Apa kedatangan Jibril di Gua Hira itu masuk nalar? Seberapa besar nalar kalian, mau menalar agama dan semua ciptaan Allah? Apa makhluk gaib itu bukan makhluk? Bagaimana kalau rumah kalian dirusak? Kalau ayam diusik saja mematik, apalagi jin.” – ujar Pak Guru Mahmud ketika Cak Ali, Is dan teman-temannya menebang pohon mahoni seenaknya. Disini sebenarnya saya setuju, bahwa percaya pada jin itu tidak diperbolehkan, tetapi bertindak seenaknya terhadap tempat tinggal jin juga tidak patut dilakukan, semestinya kita tetap memohon perlindungan-Nya, karena bagaimanapun jin dan manusia sama-sama ciptaan-Nya.

  3. “Menyajikan kopi kepada tamu itu baik, tapi tentu saja jangan dengan menyiramkannya ke muka” – ucap Mas Ali ketika menasihati Mat. Betul, ditengah-tengah masyarakat kita yang belum sepenuhnya paham tentang ilmu agama, sudah seharusnya kita sebagai umatnya untuk mengajarkan ilmu tersebut secara pelan-pelan dan sedikit demi sedikit.

  4. “Karena taklid jenis baru ini, beberapa orang jadi lebih keras dari seharusnya. Mereka buta, atau membuta. Mereka sulit membedakan mana yang benar-benar urusan agama mana urusan organisasi. Mereka menyamakannya. Mereka memandang tujuan, cara, dan sarana dengan cara sama. Misalnya, untuk bisa sampai ke Telogo Ombo, kita bisa lewat jalan depan masjid itu. Pakai apa? Kita bisa naik sepeda motor, bisa naik sepeda pancal, tapi bisa juga---kalau mau sehat, misalnya---jalan kaki. Sekarang coba bayangkan tentang orang yang tidak mampu membedakan mana Telogo Ombo, mana jalan yang harus dilewati, dan pakai apa dia menuju sana. Semua disamakan begitu saja. Dan akhirnya, main mutlak-mutlakan. Mereka menolak sama sekali baha untuk sampai ke Telogo Ombo, kita bisa ambil jalan memutar, ada juga jalan pintas lewat kebun-kebun di belakang Masjid Selatan itu, dan bahkan kita bisa tempuh lewat udara---wong sekarang ada helikopter.” – Pakde Anwar kepada Mif. Nasihat ini mengena buat saya, kenapa? Karena disinilah seperti inti dari perbedaan itu, sebenarnya kita tahu bahwa kita ini satu; Islam. Hanya saja kita terlalu sering membeda-bedakan pandangan dengan menjatuhkan satu sama lain, padahal intinya kita tetap sama.
Overall, saya puas sekali dengan novel Kambing & Hujan dan saya merekomendasikan novel ini untuk masuk dalam daftar bacan kalian. Wajib!!! Haha 😅 Saya memberi 5 bintang dari 5 bintang, very recommended book!

Ditunggu review selanjutnya, ya. See you, guys! 😉

BEST QUOTES
“Is, bagi sebagian besar dari kami, seperti kambing dan hujan–sesuatu yang hampir mustahil dipertemukan.” (hal. 222)

"COVER TERBARU"
Source : Google

Minggu, 10 Februari 2019

[REVIEW BUKU]: RESIGN! – CUNGPRET-CUNGPRET METROPOLITAN

Judul Buku :  Resign!
Penulis :  Almira Bastari
Editor :  Claudia Von Nasution
Penerbit :  PT Gramedia Pustaka Utama
ISBN :  9786020380711
Tebal  Buku :  288 halaman
Terbit : Cetakan ketiga (Februari, 2018)

SINOPSIS :
Kompetisi sengit terjadi di sebuah kantor konsultan di Jakarta. Pesertanya adalah para cungpret, alias kacung kampret. Yang mereka incar bukanlah penghargaan pegawai terbaik, jabatan tertinggi, atau bonus terbesar, melainkan memenangkan taruhan untuk segera resign!
Cungpret #1: Alranita
Pegawai termuda yang tertekan akibat perlakuan semena-mena sang bos.
Cungpret #2: Carlo
Pegawai yang baru menikah dan ingin mencari pekerjaan dengan penghasilan lebih tinggi.
Cungpret #3: Karenina
Pegawai senior yang selalu dianggap tidak becus tapi terus-menerus dijejali proyek baru.
Cungpret #4: Andre
Pegawai senior kesayangan sang bos yang berniat resign demi menikmati kehidupan keluarga yang lebih normal dan seimbang.
Sang Bos: Tigran
Pemimpin genius, misterius, dan arogan, tapi dipercaya untuk memimpin timnya sendiri pada usia yang masih cukup muda.
Resign sebenarnya tidak sulit dilakukan. Namun kalau kamu memiliki bos yang punya radar sangat kuat seperti Tigran, semua usahamu akan terbaca olehnya. Pertanyaannya, siapakah yang akan memenangkan taruhan?

REVIEW :
Pertama kali melihat novel ini, saya harus mengakui bahwa saya tertarik membaca karena warnanya menyita perhatian dan judulnya menggelitik, hehe. Saya awalnya tidak tahu kalau buku ini sudah lebih dulu diterbitkan di Wattpad, baru tahu setelah teman saya cerita (maaf, saya memang tidak pernah baca Wattpad). Jadilah, ini novel Wattpad ke-3 yang saya baca sekaligus novel metropop pertama yang saya baca.

೦೦೦೦೦

Novel ini bercerita tentang cungpret (kacung kampret) yang berlomba-lomba untuk resign di pergantian tahun. Bermula ketika Alranita dibuat menangis oleh bosnya sendiri karena harus kembali revisi laporan, kemudian pada 10 menit selanjutnya bosnya mengajak Alranita untuk meeting diluar kantor, mau tidak mau Alranita pun mengikutinya.

Beberapa hari setelahnya, rapat besar diadakan, kali ini tidak hanya dengan Tigran saja, melainkan dengan Dewa Bos. Didepan Dewa Bos, Tigran terlihat baik dan membela kinerja anak buahnya. Tetapi, gara-gara typo mengharuskan proposal diperbaiki dan Rara kebagian jatah untuk memperbaikinya, yang artinya Rara juga harus lembur---lembur bersama bos. Dari sinilah kedekatan Tigran dan Rara bermula, karena setelah lembur---yang awalnya Tigran memaksa Rara untuk diantar pulang---justru mereka berdua nonton bioskop. 

Lain dari Tigran dan Rara yang seringkali adu mulut, tim Tigran yang terdiri dari Mbak Karen, mas Andre dan Carlo adalah tim yang solid. Solid akan kekesalannya terhadap bos. Mereka semua sudah terkena sikap arogan dan semena-mena bosnya, Mbak Karen sendiri sudah berulang kali terkena damprat oleh Tigran, makanya di bulan ke-enam dia sudah berusaha untuk resign. Sedangkan mas Andre, dia yang selow, tidak ada masalah dengan bos, hanya saja dia ingin resign karena pekerjaannya terlalu menyita waktu. Sementara si Carlo, sudah berusaha resign, namun diselamatkan oleh HRD-nya dengan mutasi tim.

Dan, mereka semua adalah tim yang solid dalam hal gosip-menggosip akan bosnya sendiri. Mulai dari kecurigaan mereka dengan bosnya yang sangat workaholic sampai kecurigaan mereka dengan status bosnya, apakah dia duda? MBA? Atau cerai? Dan semua jawaban terbayar tuntas ketika Sandra---karyawan baru yang bergabung di tim Tigran---mengatakan bahwa Tigran belum menikah.

೦೦೦೦೦

Novel ini menggunakan alur maju, meski ada beberapa dialog yang menceritakan masa lalu. Tetapi menurut saya itu tidak termasuk flashback. Bahasa yang digunakan pun sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari khas kota metropolitan.

Membaca novel ini membuatku geregetan sampai ketawa-ketiwi sendiri. Geregetan kalau sudah membaca bagian Rara dan Tigran saling adu mulut dan ketawa-ketiwi di bagian pergosipan mereka yang seolah-olah memang mulut perempuan itu khas banget dengan gosip.

“Lembur itu mindset. Kalo ngerjainnya fokus, kamu cuma perlu waktu sebentar kok.”
– Tigran (hal. 28)

Oiya, saya juga belajar untuk menghargai diri sendiri ketika bekerja, dalam bekerja kita mungkin sudah mengerjakan dengan sepenuh hati, tetapi saat hati kita mengatakan tidak nyaman dengan pekerjaan tersebut, bukankah lebih baik resign? Meski secara tidak langsung juga seperti mengikuti stereotipe bahwa generasi milenial adalah generasi yang suka berpindah-pindah pekerjaan, tapi apa boleh dibuat? Mengantisipasi stres akan pekerjaan itu juga perlu, lho! #pembelaan 😂

Kekurangannya dari novel sebenarnya dari segi relationship-nya, dimana saya merasa bahwa love-hate relationship yang dibangun kurang terasa greget. Bagaimana mungkin dari sebegitu bencinya bisa berubah menjadi cinta? Hal itu yang kurang dijelaskan di novel ini. Kemudian, yang menjadi kekecewaan saya adalah cerita resign itu sendiri, yang hanya dibahas sedikit sekali dibagian akhir cerita.... Hmmm 😔

Tetapi, overall, novel ini seru sekali. Saya tetap menikmati jokes-jokes yang ada didalam novel. Saya merekomendasikan novel ini untuk teman-teman yang mencari bacaan ringan dan cerita yang mudah dipahami. Untuk novel Resign, saya memberi 3 bintang dari 5 bintang. See you! 😉

Beberapa kutipan dari novel Resign! Yang saya ambil dari instagram @almirabastari: