Selasa, 30 Juni 2020

(Masih) Tentang Menikah

Halo, teman-teman semuanya! 
Tulisan kali ini saya ingin berbagi dan bercerita, mungkin bisa sambil curhat, hehe. Masih membahas tentang hal yang sama yaitu menikah, mungkin anggap saja sebagai kenang-kenangan kalau suatu saat saya memutuskan untuk menikah atau anggap saja sebagai pandangan saya mengenai pernikahan.


೦೦೦೦೦

Rasanya sudah tidak asing lagi ketika kita disodorkan pertanyaan: kapan nikah?. Umumnya, pertanyaan itu disodorkan ketika kita sudah lulus sekolah. Hal yang sudah saya terima 4 tahun yang lalu, dimana saya baru saja lulus dari sekolah menengah atas. Mungkin, karena saya tinggal di desa, menikah setelah lulus sekolah masih menjadi hal wajar dan itu membuat anggapan bahwa setelah lulus sekolah pasti akan menikah. Sedangkan saat ini, saya baru saja lulus kuliah. Ketika momen Idul Fitri bulan lalu, pertanyaan yang sama juga saya dapatkan. Saya cuma cengar cengir dan menjawab seperlunya agar pembicaraan itu disudahi, hehe 😅.

Saya dan teman-teman yang belum menikah pasti sudah merasakan bagaimana rasanya mendapatkan pertanyaan tersebut. Agaknya terlihat lebih mudah menjawabnya ketika sudah memiliki pasangan yang mulai serius, namun bagi yang belum ingin mengarah serius rasanya jadi bingung memilih jawaban yang tepat. Dijawab ingin fokus kuliah dan bekerja dulu, nanti akan diserang kembali dengan pernyataan: nggak baik lho kalau menunda padahal sudah ada. Sedangkan kalau dijawab kalau belum ada pasangan kok rasanya ngenes sekali, hiks 😆.

Pertanyaan kapan nikah mungkin menjadi pertanyaan basa-basi yang sering kontroversi. Kadang kita tersinggung dengan pertanyaan tersebut, kadang malah jadi teringat pada diri sendiri. Di lingkungan kita, menghindari pertanyaan yang sudah menjadi kebiasaan untuk basa-basi itu sangat sulit. Banyak yang masih berpikir itu hanya bercanda, namun bagi beberapa orang basa-basi itu keterlaluan. Kalau ingin mewajarkan pertanyaan basa-basi tersebut rasanya tidak tepat, tetapi kalau menghilangkan pertanyaan basa-basi tersebut kita jadi tidak ada kesempatan belajar. Belajar menghargai perasaan orang lain, belajar menghargai pertanyaan orang lain, atau belajar membuka diri.

Pertama, belajar menghargai perasaan orang lain yang bertanya atau kita tanya. Menghargai perasaan orang lain agar tidak menyakiti perasaannya itu penting untuk tetap menjaga silaturahmi. Bayangkan jika hanya karena kamu tidak ingin ditanya kapan nikah, kamu menjauhi orang yang bertanya. Mungkin kamu akan merasa lebih baik, tetapi kamu akan kehilangan orang itu. Atau, bayangkan jika hanya karena kamu bertanya kapan nikah, kamu gantian dijauhi oleh orang yang kamu tanya itu. Sakit? Saya yakin pasti sakit!

Saya pikir, mungkin jika kita mau untuk meluaskan pandangan kita dengan melihat siapa orang yang bertanya tersebut: apakah teman sebaya atau orang yang lebih tua, membantu kita menemukan jawaban yang tepat dan terbebas dari rasa tersinggung. Atau mungkin, jika kita mau melihat orang yang kita tanya: apakah dia cukup terbuka ditanya kapan keinginannya untuk menikah, kita bisa menahan diri untuk mencoba bertanya.

Kedua, belajar untuk membuka diri. Kadang dengan pertanyaan seputar menikah justru membuka pintu diskusi yang panjang. Kita jadi tidak sadar seperti sedang mengurai keresahan-keresahan yang sedang kita rasakan. Memang sebelum menuju diskusi yang panjang dibutuhkan topik obrolan lain, tetapi tidak ada salahnya untuk membuka diri agar tidak tersinggung saat ditanya kapan nikah. Saya tahu rasanya tidak bisa terbuka dengan pertanyaan tersebut, apalagi kalau kita punya masalah berat yang membuat kita rasanya ingin tidak menikah saja, namun semakin bertambahnya usia pasti perlahan kita akan sadar bahwa pertanyaan itu tidak selamanya buruk. Kembali pada pertanyaan diatas: kadang kita tersinggung dengan pertanyaan tersebut, kadang malah jadi teringat pada diri sendiri. Nah, sampai disini jadi teringat pada diri sendiri, kan? 😊

೦೦೦೦೦

Ngobrolin tentang menikah, tidak cukup kalau cuma menjawab pertanyaan kapan nikah untuk orang lain. Mungkin, saya dan teman-teman seumuran (umur 20-an) sudah mulai terpikir untuk mengarah ke jenjang yang lebih serius yaitu menikah. Dalam artian sudah mulai berpikir untuk mempersiapkan diri sendiri, karena pada akhirnya pertanyaan hanyalah pertanyaan sedangkan keputusan untuk menikah atau tidak itu kembali pada pilihan masing-masing. Meskipun sebetulnya menikah bukan berdasarkan patokan usia, namun tetap ada kekhawatiran disana. Apalagi jika kita adalah seorang perempuan, faktor kesehatan mungkin menjadi pertimbangan penting untuk memutuskan segera menikah.

Saya pikir, pernikahan adalah perjalanan hidup yang panjang. Ketika seseorang memutuskan untuk menikah, artinya kehidupan setelahnya akan dihabiskan dalam pernikahan tersebut. Dengan mempersiapkan diri, membekali diri dengan ilmu yang cukup, dan belajar dari orang yang sudah berpengalaman barangkali bisa menjadi obat bagi setiap orang yang mempunyai keinginan untuk menikah.


Kemarin sewaktu saya membaca buku tentang menikah, tiba-tiba ada yang berkomentar, “wah ada yang pengen cepat menikah nih”. Saya diam. Speechless. Saya berpikir bahwa jangan-jangan yang melihat buku tersebut juga berpikir hal yang sama. Sebetulnya ya memang benar sih, masih ada keinginan untuk menikah (alhamdulillah untungnya). Meskipun bukan berarti pengen cepat menikah tapi saya rasa perlu mempersiapkan diri dan ilmunya dari sekarang. Baik kondisinya sudah punya pasangan yang mau diajak serius atau masih sendirian. Saya sering membayangkan apa jadinya jika tanpa mempersiapkan diri, tanpa bekal ilmu yang cukup, tanpa belajar dari yang berpengalaman, apakah seseorang tersebut sanggup menjalani kehidupan pernikahan? Mungkin, jika dari keluarga yang utuh, akses ilmu dan bekal itu bisa dilihat/dicontoh dari bapak dan ibu di rumah. Namun, lain halnya jika dia berasal dari keluarga yang tidak utuh, karena cukup sulit untuk bisa meyakinkan diri dan membekali diri sebelum memutuskan untuk menikah. Meskipun sebenarnya bisa belajar dari mana saja, tetapi beban mental dan pikiran yang dihadapi setiap orang sebelum menikah tetap sama, tetap ada keresahan, kegelisahan maupun ketakutan. Hanya saja lebih berat dihadapi oleh anak dengan latar belakang keluarga yang tidak utuh.

Pada akhirnya kita akan setuju bahwa langkah awal menghadapi kehidupan pernikahan adalah perihal mental. Itulah yang menjadi salah satu alasan saya membaca buku Kapan Kamu Nikah meskipun saya tidak tahu kapan akan menikah. Saya sendiri hanya berharap akan menikah di waktu yang tepat dengan seseorang yang tepat dan sesuai dengan-Nya. Nah, sebelum itu untuk mempersiapkannya adalah saya menyiapkan mental dan memperbanyak ilmu. Bukankah kita juga takut jika kita menghabiskan waktu dengan seseorang yang tidak tepat dan tidak sesuai dengan-Nya? Ketakutan-ketakutan itu bisa diselesaikan saat sebelum memutuskan untuk menikah. Jadi, tidak ada salahnya membaca buku tentang pernikahan meskipun belum tahu kapan akan menikah karena dengan begitu kita bersiap dengan diri kita sendiri untuk menghadapi segala sesuatu yang terjadi.


Terakhir, menurut saya, selain bekal ilmu yang cukup dan belajar dari yang berpengalaman, masih ada satu hal yang penting yaitu percaya pada-Nya. Percaya bahwa jodoh, maut, dan rezeki sudah diatur oleh Tuhan, tetapi disisi lain kita tetap harus berusaha dan berdoa. Memohon agar segala urusan kita diberikan jalan terbaik oleh Tuhan. Bagaimanapun juga setiap langkah kita menjalani kehidupan ini adalah sesuai dengan kehendak-Nya. Kalau sudah begini, ungkapan bahwa kita bisa berencana tetapi Tuhan yang menentukan itu benar-benar terasa jika memang segala sesuatu hal yang terjadi dalam hidup kita berasal dari-Nya dan akan kembali pada-Nya.

೦೦೦೦೦

Mungkin, saya rasa cukup sampai disini saja tulisan kali ini. Lain kali jika ada pembahasan mengenai topik yang sama, saya ingin kembali menuliskannya. Meskipun sebenarnya saya ingin menghindari tulisan yang berbau curhat, tetapi disisi lain saya juga masih ingin berbagi pengalaman dan pemikiran yang saya miliki. Semoga masih bisa diambil sisi positifnya, ya.

Saya mohon maaf jika ada hal-hal yang kurang berkenan. Tetapi saya akan sangat berterima kasih kalau ada hal-hal yang kurang berkenan bisa dijadikan kritik dan saran untuk saya. Jadi, jangan sungkan untuk membagikan pendapatmu tentang menikah di kolom komentar, ya! Semoga bisa menjadi bahan belajar untuk kita semua. Aaamiin. So, bagaimana pandanganmu tentang menikah?

Terima kasih dan sampai jumpa di postingan selanjutnya. See you! 😉
Share:

0 komentar:

Posting Komentar