Senin, 31 Agustus 2020

sesuatu yang kita kira

Kalau kita bisa menghitung kebahagiaan yang kita terima, sudah ada berapa banyak sampai saat ini?

Pasti ada banyak sekali. Aku yakin akan hal itu.

Sayangnya.. tidak semuanya menyadari bahwa kebahagiaan itu berasal dari hal-hal sederhana yang ada di hidup kita. Sesederhana menerima bingkisan setelah kita melalui sesuatu hal penting dalam hidup kita.

Aku sendiri termasuk orang yang sinis terhadap sesuatu sebelum mengalaminya sendiri.

Dulu, aku pikir untuk apa sih membuat akun Instagram? Toh isinya hanya foto saja. Tidak ada ruang untukku bisa menulis. Ternyata aku salah. Justru seiring berjalannya waktu, Instagram menjadi salah satu sosial media yang paling banyak digunakan dan kesempatan untuk memperkenalkan karya tersedia di sana.

Dulu, aku juga berpikir untuk apa foto. Ada banyak momen untuk diabadikan, kenapa hanya melalui foto saja mengabadikan sebuah momen? Toh dengan menulis kan bisa. Ternyata aku juga salah. Menulis bisa mengabadikan momen karena di waktu tertentu kita bisa membacanya dan mengingatnya kembali, tetapi foto adalah wujud visual yang dapat mengabadikan suatu momen. Tentu saja, dengan menggunakan foto, kita tidak perlu membaca teks terlalu panjang seperti tulisan.

Kedua hal itu sama seperti yang sedang aku pikirkan dan rasakan akhir-akhir ini.

Dulu, sebelum aku merasakan skripsi dan sidang pendadaran, aku pernah berpikir bahwa keduanya adalah sesuatu hal yang mudah dilakukan karena kalau dipersiapkan dengan baik nanti juga mudah melaluinya. Sayangnya, aku salah. Persiapanku tidak kurang. Persiapan materi yang aku pelajari sewaktu kuliah. Persiapan referensi materi yang lainnya. Persiapan pengalaman dari yang sudah mengerjakan terlebih dulu daripada aku. Huh, ternyata dalam perjalanannya tidaklah mudah.

Lagi lagi aku seperti sedang membuktikan bahwa aku sinis terhadap sesuatu sebelum mengalaminya sendiri.

Dulu, sebelum aku merasakan sidang pendadaran, aku pernah berpikir bahwa mengapa sih orang-orang setelah sidang pendadaran merasa bahagia? Padahal kan bahagia bisa dirasakan setiap saat dan bahagia atau tidaknya kita hanya diri kita sendiri yang tau.

Dulu, aku juga berpikir, mengapa sih setiap setelah sidang pendadaran orang repot-repot datang untuk memberi selamat? Lalu mengapa sih orang-orang setelah sidang pendadaran dihadiahi bingkisan berupa boneka, makanan, maupun yang lainnya. Rasanya seperti sedang menghamburkan uang, padahal bingkisan-bingkisan itu bisa dibeli menggunakan uang sendiri.

Lalu.. semua terbantahkan setelah aku mengalaminya sendiri.

Sikap sinis terhadap skripsi itu justru membuatku rumit ketika idealisme yang aku miliki berbenturan dengan kenyataan yang aku hadapi. Sinis terhadap sidang pendadaran itu justru membuatku merasa bahwa salah satu momen bahagia bagi orang-orang yang mengerjakan skripsi adalah sesaat setelah sidang pendadaran.

Aku kemudian berpikir ulang dan merasakan kembali bagaimana waktu itu aku dibuat bahagia oleh orang-orang di sekitarku. Bahagia yang aku tahu sebatas aku merasakan bagaimana perjuanganku dibayar tuntas dengan menyelesaikan tanggungjawabku. Sama seperti saat bahagiaku menyelesaikan skripsi yang sudah kukerjakan selama berbulan-bulan dan artinya tanggungjawab menyelesaikan pendidikan sudah terbayar. Dulu, aku berharap, tidak perlulah teman-temanku datang dan memberi bingkisan beserta ucapan. Ternyata aku salah.. melihat mereka bahagia menyambutku, membawakan bingkisan, memberiku ucapan, dan lebih penting lagi adalah senyum yang terlukis di wajah mereka.. justru membuat hatiku ciut. 

Ternyata.. tidak seperti itu.. Mereka datang dan memberi apapun yang mereka bawa adalah suatu kebahagiaan tersendiri bagi mereka. Kadang.. ada juga terselip rasa.. aduh, repot sekali harus membalasnya. Padahal balasan tidak selalu berupa barang, mendoakannya menjalani hidup dengan baik-baik saja sudah cukup. Tentu, tidak semuanya akan berpikiran seperti itu, tapi bagiku.. doa saja sudah cukup membuatku bahagia. 

Apalagi jika kamu laki-laki dan mendoakanku di sepertiga malammu kalau kelak kita bisa berjodoh. Wadaw~ (heihallo kok halu begini? *minta ditampar biar sadar* 😂🙈)

Kini aku menyadari bahwa segala sesuatu yang kita pikir rumit seperti merepotkan orang lain. Sudah seharusnya diubah menjadi suatu doa agar orang tersebut melakukannya tanpa terpaksa dan mendapatkan balasan yang sama dengan yang dilakukannya (dalam hal kebaikan). Aku pernah diberi pesan oleh almarhumah simbah untuk berlaku baik, kalau balasannya tidak dari orang yang sama, nanti akan dibalas oleh kebaikan yang lain. Sesederhana itu yang mungkin aku lupa seiring berjalannya waktu dan seiring bertambahnya usia. Yah, namanya juga manusia biasa.

Segala sesuatu yang kita kira ternyata tidak selalu benar. Tetapi juga tidak selalu salah. Kita cuma mengira. Selebihnya, di lubuk hati setiap orang tidaklah sama seperti yang kita rasakan. Juga, selebihnya, di dalam pemikiran setiap orang tidaklah sama seperti yang kita pikirkan. Apapun yang ditampilkan orang lain di hadapan kita, kita hanya bisa melihatnya, tidak bisa menelisik lebih jauh di dalam hati maupun pikirannya. Tentu saja, setiap orang memiliki kebahagiaannya masing-masing. Setiap orang mempunyai standar bahagianya tersendiri. Tetapi yang seharusnya kita ingat: bahagia itu sederhana. Sesederhana melihat orang lain bahagia ada di sekitar kita.

Jadi, sudahkah kita membahagiakan mereka? :)

~

Yogyakarta, 31 Agustus 2020

Tulisan penutup bulan Agustus.

Terinspirasi dari diri sendiri dan teman-temanku yang sama-sama sudah menyelesaikan sidang skripsi. Terima kasih semuanya. 🤗🌻

Share:

0 komentar:

Posting Komentar