Sabtu, 11 Juli 2020

[REVIEW BUKU]: Laki-laki Memang Tidak Menangis, Tapi Hatinya Berdarah, Dik - Rusdi Mathari

"Tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni. Begitu kata penyair Sapardi Djoko Damono. Sekarang sudah bulan Juli, tapi hujan masih terus deras membasuh tanah. Ia bukan saja tabah dan membiarkan yang tak terucap diserap akar pohon bunga itu, tapi juga nekat." - hal. 67
Judul Buku:  Laki-laki Memang Tidak Menangis, Tapi Hatinya Berdarah, Dik
Penulis:  Rusdi Mathari
Penerbit:  Buku Mojok
Tebal  Buku:  84 halaman
Terbit:  Cetakan Pertama, Mei 2020
ISBN:  978-623-7284-36-9
IDR:  45.000

SINOPSIS :
Dan kamu tahu, Dik, yang paling menyesakkan dan membuat hati laki-laki berdarah-darah adalah kenangan.

REVIEW        :
Ini pertama kalinya saya membaca buku karya Rusdi Mathari atau lebih akrab disapa Cak Rusdi. Penulis yang saya tahu setelah beliau tiada dan beberapa bukunya menarik perhatian saya. Rusdi Mathari lahir di Situondo, 12 Oktober 1967 dan meninggal dunia di Jakarta pada 2 Maret 2018. Ia pernah bekerja di sejumlah media, yakni sebagai wartawan lepas. Peserta crash program reportase investigasi ISAI Jakarta dan pernah mendapat beberapa penghargaan untuk penulisan berita terbaik dari beberapa lembaga. Hingga akhir hayatnya, ia aktif menulis buku, esai untuk Mojok.co, dan status Facebook, serta mengasuh blog rusdimathari.com.

೦೦೦೦೦

Buku “Laki-laki Memang Tidak Menangis, Tapi Hatinya Berdarah, Dik” adalah kumpulan tulisan singkat yang didalamnya terdapat 67 tulisan. Tulisan-tulisannya bercerita tentang curahan hati seorang laki-laki; tulisan tentang kenangan saat jatuh cinta terhadap perempuannya, merindukan perempuannya, harapan-harapannya kepada perempuannya, bahkan pemikiran-pemikirannya terhadap dunia luar yang membuat hatinya terluka, atau bisa dikatakan berdarah.

Pada tulisan awal di buku ini, kita akan menemukan tulisan-tulisan kenangan terhadap perempuannya, kenangan saat jatuh cinta, menjalani kehidupan rumah tangganya, kerinduan, dan harapan bersama perempuan tersebut. Di pertengahan buku, kita akan menemukan tulisan-tulisan yang berisi tempat-tempat tertentu seperti Rinjani, Rohingya, Aleppo, dan sebagainya. Tempat-tempat tersebut juga membawa kita pada kenangan terhadap perempuannya, sekaligus tampak sekilas seperti sindiran halus. Di bagian akhir buku ini, beberapa bagian masih melanjutkan sindiran halus namun mengarah tentang kehidupan, seperti tulisan yang berjudul Muharam, Lebaran, Maaf, dan yang lainnya.

೦೦೦೦೦

Buku dengan tebal 84 halaman ini dikemas dengan kalimat yang sederhana, tegas, dan puitis secara bersamaan. Membacanya membuat pembaca dapat dengan mudah larut mengikuti tulisan-tulisan didalamnya, sekaligus merasakan keindahan kalimat yang seperti puisi.

Saya menyelesaikan membaca buku ini hanya dalam satu kali duduk. Meskipun begitu, memahaminya membutuhkan waktu yang tidak cukup satu kali saja. Saya selalu percaya bahwa tulisan-tulisan beliau seringkali membawa nuansa yang religius, sama seperti ketika saya membuka buku ini, saya menemukan kutipan dibawah ini:
“Aku tak pernah ragu tentang hak dan batil, karena sejak dulu, dunia ini isinya adalah tentang hak dan batil. Ada Qabil, ada Habil. Ada Ibrahim, ada Namrud. Ada Musa, ada Firaun. Ada Isa, ada Herodes. Ada Muhammad, ada Abu Lahab. Aku tak pernah kuatir soal itu, dan bukan itu yang aku kuatirkan. Yang aku kuatirkan adalah orang baik yang diam sehingga orang yang salah merasa benar dan dibenarkan.” – Ali bin Abi Thalib.
Kutipan yang sempat membuat saya bertanya mengapa diletakkan sebagai pembuka buku ini dan apakah kutipannya berkaitan dengan isi buku ini?. Tetapi saya tidak terlalu memikirkan pertanyaan tersebut, saya memilih untuk menikmati buku ini dan ternyata justru saya menemukan beberapa bagian yang berkaitan dengan kutipan tersebut.

Misalnya pada tulisan yang berjudul “Dirimu”
“Setiap nafsu mestilah merasakan mati. Lalu kamu akan menerima keburukan dan kebaikan. Sebagai fitnah, sebagai cobaan. Agar kamu tahu: kamu semua milik Kami. Kepada Kamilah kalian kembali karena kalian bukan siapa-siapa.” – hal. 71
Setelah membacanya, saya diingatkan kembali pada kata “Kami” bahwa kita sebagai manusia memang bukan siapa-siapa. Kita semua milik-Nya dan kepada-Nya kita kembali. Kemudian, pada tulisan yang berjudul “Maaf”
“Bila masih ada istilah “Aku menerima dan memberi maaf, tapi tak akan melupakan perbuatanmu,” itu artinya, hati masih terimpit oleh kemarahan. Hati yang semacam itu lama-lama bisa menjadi keras. Lebih keras dari batu yang paling keras. Meminta dan memberi maaf, mestinya meluluhkan semua. Memulai dari yang baru dan tidak lagi mengingat-ingat perbuatan yang pernah menyakiti dan disakiti.” – hal. 79
Jujur, setelah membaca tulisan ini membuat saya berkaca-kaca. Ada banyak hal yang akhir-akhir ini cenderung membuat saya merasakan tentang memaafkan dalam arti yang lebih dalam. Tulisan ini benar-benar menyita perhatian saya saat membaca buku ini.

Secara keseluruhan, buku ini menyenangkan untuk dibaca dalam waktu yang singkat karena tulisannya tidak terlalu banyak jadi memudahkan pembaca untuk berpindah halaman. Meskipun bagi sebagian orang (termasuk saya) yang suka memahami lebih dalam, buku ini akan terasa mempunyai makna tersendiri sehingga pembaca tipe ini seperti diajak untuk berpikir dan menelaah lebih jauh lagi.

Saya memberi 4 bintang untuk buku “Laki-laki Memang Tidak Menangis, Tapi Hatinya Berdarah, Dik”. Saya merekomendasikan buku ini untuk teman-teman yang suka membaca buku tipis dan tulisan-tulisan pendek.

Terima kasih sudah membaca. Sampai jumpa di postingan selanjutnya, ya!
Share:

2 komentar:

  1. Balasan
    1. Hai, buku ini bisa didapatkan di toko buku terdekat atau di sini: https://mojokstore.com/product/laki-laki-memang-tidak-menangis/ ya :)

      Hapus