Sabtu, 12 Desember 2020

November

Tidak perlu menyesali dia yang datang hanya sekadar permisi, karena terkadang dia justru membawa pelajaran yang berarti.


~

10 Desember 2020

Semula aku menulis hal ini karena bagiku malam itu juga harus segera dituliskan. Padahal aku tau kalau besok pagi masih hari kerja di mana aku harus datang tepat waktu meski pada akhirnya aku terlambat juga. Lalu, aku melanjutkannya pada 12 Desember 2020, saat orang-orang menunggu momen 12.12 untuk belanja, sedangkan aku menunggu 12.12 untuk upload tulisan ke blog. *apaan sih wkwk*

~

Sudah sejak bulan lalu aku ingin menuliskannya tetapi sepertinya memang bukan waktu yang tepat. Setelah ku pikir beberapa kali, aku ingin menceritakannya. Iya, aku sudah siap menceritakannya. Walau tidak semuanya karena ada beberapa hal yang ingin aku simpan untuk diriku sendiri.

Ini cerita tentang bulan lalu, bulan November. Sejak dua tahun yang lalu, November menjadi bulan yang penuh kejutan untukku. Dua tahun yang lalu, aku mengenal seseorang yang membuatku merasa bahwa ia satu frekuensi denganku. Hanya karena ia mengerti duniaku: dunia buku. Seseorang yang dapat aku ajak berdiskusi mengenai buku karena kami sama-sama menyukai buku dan sama-sama membaca buku yang sama. Hal itu kemudian membuatku dan dia dekat karena kami sama-sama ‘nyambung’ oleh satu bahasan yaitu buku. Waktu bergulir dan beberapa hal terjadi yang kemudian membuatku menyimpulkan bahwa ‘frekuensi’ itu hanya sebatas dunia buku. Tidak dengan dunia yang lain.

Satu tahun yang lalu, kembali dipertemukan dengan kondisi yang sudah berbeda. Benda itu melingkar di jari manisnya. Iya, aku tau bahwa harapanku sudah pupus. Tunggu, sebelum aku menyematkan harapanku, aku pun hanya sekadar mengaguminya karena ia mengetahui duniaku. Namun, sepertinya nasib sedang mengerjai kita pada sesuatu yang tidak kita duga, ya? Hingga kita dipertemukan dan pada akhirnya kita tau bahwa takdirlah yang berbicara. Kita memang tidak bisa. Kamu sudah memilikinya dan aku tidak dimiliki siapa pun. Aku tidak mau mengganggu karena aku juga tidak mau diganggu. Jadi? Impas, ‘kan? ☺

Satu tahun lalu dipertemukan dengan cerita yang berbeda, bukan buku. Melainkan sebuah topik diskusi dimana meski kamu ceritakan dengan perumpamaan pun aku sudah mengerti apa maksud dibaliknya. November satu tahun yang lalu sebuah pertemuan tidak terduga kembali mempertemukan kita. Empat puluh lima menit dunia terasa milik kita karena diskusi tidak terduga itu benar-benar membuat kita larut didalamnya. Aku hanya bisa mendengarkan, hanya bisa mengerti dan memahaminya, dan aku menanggapinya jika perlu. Akhirnya aku mengerti betapa rumitnya sebuah pertemuan tidak terduga itu selalu membawa perasaan yang berbeda. Betapa rumitnya mengatakan bahwa pertemuan tidak terduga itu sebenarnya adalah satu-satunya hal yang menghubungkan kita.

Dan, November satu tahun kemudian.. November tahun ini.. tidak ada kabar. Entah di pertemuan mana aku akan menemukanmu kembali. Aku hanya berharap yang terbaik untuk apapun keadaanmu saat ini. Terlepas karena dulu aku pernah menyematkan harapan, tapi aku tau ini murni karena mau mendoakan kebaikan untukmu. Semoga dilindungi-Nya selalu. Semoga.

Itu November yang aku ingat tiga tahun ini. Aku masih mengingatnya. Setidaknya sampai saat ini, tidak tau apakah ingatan itu akan sampai pada tahun depan atau tidak, tapi yang aku tau dengan menuliskan semua ini membuatku mengerti bahwa tidak ada salahnya mengenal seseorang. Entah seseorang tersebut hanya sekadar permisi lalu pergi atau akan menetap di hidupku. Tidak ada salahnya.

~

November bulan lalu membawa cerita baru di hidupku. Di saat aku sedang takut jika mengalami hal yang sama, karena sesungguhnya ketakutan terhadap diriku sendiri membuatku tidak mau mengulangi lagi. Kecemasan, kekhawatiran, dan ketakutan yang menjadikanku seseorang yang siap mundur jika seseorang tersebut tidak mau memperjuangkanku meskipun aku mau memperjuangkannya. Aku tidak mau menyalahkan masa laluku yang membuatku mempunyai mental seperti ini, aku (mungkin) hanya belum mau dan belum siap.

November bulan lalu, seseorang berkata padaku: “mbak, jangan menurunkan standar ya!”. Aku yang saat itu sedang bercerita bahwa ada seseorang yang mendekatiku malah membuatku bertanya-tanya apa maksud ucapan tersebut. Kemudian temanku menjawab: “mbak, kamu tuh pembawaannya dewasa, pemikiranmu kritis, guyonanmu tuh beda dan kadang aku nggak paham, kamu punya daya tarik tersendiri apalagi kamu senang membaca buku, jadi cowok tuh tertarik diskusi sama kamu, dan kamu nggak akan membiarkan orang yang dekat denganmu sekarang cuma untuk main-main. jadi fokusmu sekarang memang mengarah ke hal yang serius. kalau ada yang mendekati dan niatnya main-main ya mending nggak usah karena kamu pantas mendapatkan seseorang yang serius mbak. jadi jangan menurunkan standar ya mbak, kelak kamu akan mendapatkan seseorang yang sama kayak kamu kok mbak.”

Aku: *speechless*

Rasanya kayak ditampar dan langsung sadar bahwa selama ini yang datang mendekat adalah mereka yang hanya main-main. Satu sisi aku memaklumi karena aku juga tau sebenarnya cowok ketika ingin mendekati sesuatu maka dia akan mengejarnya sampai dapat tapi ketika udah dekat malah memilih untuk mundur karena merasa tidak cocok. Aku memaklumi hal tersebut, karena ketika aku dekat dengan seseorang yang menurutku menarik secara pembawaan, aku juga merasa ‘down’ ketika sudah mengobrol, baik karena aku minder atau karena dia tidak nyambung denganku. Satu sisi lainnya, aku menjaga diriku untuk tidak mudah menaruh hati. Sama seperti ketika ada yang mendekat maka aku menganggap mereka ingin diskusi denganku, bukan untuk hal lainnya. Bukan bermaksud memberi harapan, tapi memang karena aku ingin melindungi diri sendiri. Lagi lagi ini tentang krisis mental dan kepercayaan karena aku tidak mau kecewa dan patah lagi.

~

Cerita di bulan November sepertinya selalu membawaku pada pelajaran-pelajaran yang baru tentang hidup, terutama pelajaran tentang dia. Manusia yang sering aku eja karena aku tidak menemukan selayaknya sosok ‘dia’ di rumah. Namun, aku juga tau, aku akan terus mengeja tentang dia bahkan ketika nanti sudah kutemukan. Karena aku juga ingin dia mengejaku seperti aku mengejanya. Aku ingin dia memahamiku seperti aku memahaminya. Aku ingin kita sama-sama. Bukan hanya aku, bukan hanya dia. Tapi.. KITA.

Dan, tentang ‘frekuensi’ dari seseorang yang kutemukan beberapa tahun yang lalu. Aku juga ingin menemukan seseorang dengan ‘frekuensi’ yang sama denganku. Iya, siapa juga yang tidak ingin, bukan? Semua orang pasti menginginkannya. Kalau orang itu hanya satu frekuensi dalam dunia buku, aku harap dia yang nanti bersamaku akan satu frekuensi dalam semua hal. Hingga membuat kita sama-sama.. satu jalan. Rasanya mustahil menemukannya seperti apa yang kubayangkan, karena pada kenyataannya kehidupan rumah tangga tidak semudah dan semanis apa yang dibayangkan.

Tidak perlu menyesali dia yang datang hanya sekadar permisi, karena terkadang dia justru membawa pelajaran yang berarti. Aku menemukan dia beberapa tahun yang lalu sembari mengingatkan diriku sendiri untuk tidak mudah menaruh hati dan tiba-tiba aku mendapati kalimat ini ketika scrolling akun media sosial milikku. Begini:

“Kalau tiba waktunya jatuh cinta, jatuhkan aku dalam tenang. Yang tidak lagi ada tergesa di tengah aku bersegera. Yang tidak lagi dibingungkan pilihan karena telah menemukan. Yang tidak lagi bertanya karena telah seutuhnya menerima.” – Danny Dzul Fikri.

Aku seperti sedang diingatkan untuk menerima ketika sudah waktunya. Iya, aku ingin dijatuhcintakan dengan tenang. Aku bisa menerimanya dan dia bisa menerimaku. Aku bersedia menghidupi mimpi-mimpinya dan dia bersedia menghidupi mimpi-mimpiku. Aku mau memperjuangkan dia dan dia mau memperjuangkanku. Aku akan membersamai dia dan dia akan membersamaiku. Aku ingin menjadikannya rumah dan dia ingin menjadikanku rumah.

~

Terakhir, itu semua terkesan tidak realistis. Hanya idealismeku yang memandang dari sudut pandang apa yang mau aku usahakan dan lakukan, tapi satu hal yang pasti bahwa aku ingin bersama seseorang yang mau untuk berproses dan bertumbuh. Bersama-sama. Aku tidak mau bersama orang yang ingin berubah, karena banyak orang yang berubah namun mereka malah kembali kepada dirinya yang semula–diri yang penuh cela. Aku menyadari diriku sepenuhnya bahwa aku ingin menjadi seseorang yang terus berproses dan bertumbuh, maka aku ingin mengajaknya menjadi seseorang yang juga mau untuk berproses dan bertumbuh. 

“Pegang tanganku tapi jangan terlalu erat, karena aku ingin seiring bukan digiring.” – Dee Lestari.

~

Dan, pada akhirnya.. setelah November selalu membawa hal baru di hidupku. Aku sedang berharap pada bulan selanjutnya, Desember. Sejak satu tahun lalu. Sejak dia yang sudah berlalu itu kuputuskan untuk tidak mengharapkannya kembali. Sejak saat itu.. kamu. Ini untukmu:

Kepada laki-laki Desember yang baru saja memperingati hari lahirnya: aku tidak lupa. Aku hanya ragu memberitahu. Apalagi ketika kemarin aku mendapati satu momen yang membuatku bertambah ragu dan itu membuatku memilih untuk tidak memberitahu. Aku hanya sedang menahan diri untuk tidak membingungkan perasaanku maupun perasaanmu. Aku juga hanya sedang menahan diri untuk berhati-hati jika harapan itu pada akhirnya akan pupus, bukan terwujud. Maaf aku egois, tapi aku turut berbahagia seiring bertambahnya usiamu, juga bertambahnya pemahamanmu, aku tau kamu sedang bertumbuh menjadi manusia yang lebih baik. Selamat bertumbuh, kamu! 😊🌼

~

12 Desember 2020

Tidak ikut flash sale, malah menulis seperti ini. Sama-sama bikin sedih. Satu sedih karena isi dompet, satunya sedih karena nggak ngomong tapi cuma bisa nulis. 😭

Share:

0 komentar:

Posting Komentar