Rabu, 05 Agustus 2020

Setengah Tahun Ini (2020)

Welcome, August! 

Agustus kembali menyapa dengan keadaan lumayan baik. Setengah tahun ini rasanya berat, selain karena sedang ada pandemi covid-19, juga sedang menghadapi krisis hidup. Iya, aku fresh graduate sekarang. Bulan Februari lalu menyelesaikan pendadaran dan sampai saat ini belum memiliki pekerjaan. Tidak mengapa, aku menggunakan waktuku untuk kembali belajar banyak hal.

೦೦೦೦೦
Setengah tahun berlalu. Pandemi Covid-19 belum berakhir. Beberapa waktu sempat kasusnya menurun, tetapi beberapa waktu kemudian kasusnya meningkat. Di daerah tempat tinggalku saat ini kasusnya meningkat, membuatku yang tadinya sudah merasa aman untuk berkegiatan di luar rumah jadi merasa was-was. Bagiku sendiri, sebagai orang awam, namanya virus tidak semudah itu penyelesaiannya. Hal paling dekat dan penting adalah menjaga diri dan mematuhi himbauan seperti menggunakan masker dan rajin cuci tangan.

Sejak adanya pandemi, aku menunda mencari pekerjaan. Sebulan dua bulan setelah lulus justru menjadi putus asa untuk mencari pekerjaan, meskipun tetap berusaha memasukkan lamaran pekerjaan, tetapi membuatku tidak berharap banyak. Kalau ada panggilan pekerjaan, Alhamdulillah. Kalau tidak ada, ya sudah. Satu sisi aku membutuhkan pemasukan untuk menghidupiku, tetapi disisi lain aku juga memikirkan nasib perusahaan di tengah-tengah pandemi seperti ini. Belum lagi masalah SDM perusahaan yang mungkin bisa sewaktu-waktu dirumahkan karena keadaan yang penuh ketidakpastian ini. Meskipun begitu, aku juga tetap berusaha mencari tambahan uang. Walaupun tidak banyak, setidaknya cukup untuk menghidupi selama belum mempunyai pekerjaan.

Disinilah rasanya titik krisis kehidupan yang aku rasakan. Masalah materi menjadi penting, ditambah berbagai masalah yang kemudian menjadikanku seseorang yang aktif di malam hari. Tapi, jika dipikir-pikir sejak kapan masalah materi/keuangan itu tidak penting? Bahkan masalah kecil dalam hidup pun jika diteliti kembali juga bisa menjadi masalah penting. Terbiasa menghasilkan uang sendiri membuatku terbiasa mengatur keuangan sejak dulu masih sekolah. Dulu, sebelum mengenal hobi mengoleksi buku, uang hanya digunakan untuk kebutuhan-kebutuhan penting seperti membeli keperluan sekolah, membayar SPP sekolah, atau membeli kebutuhan diri sendiri. Prinsipnya sederhana: kalau punya uang lebih ya ditabung, kalau mau beli sesuatu ya keluarkan tabungan. 

Sementara itu, setelah aku mengenal “sesuatu” yang aku senangi yaitu buku. Prinsip keuangan bergeser menjadi kalau ada uang cukup bisa dibelikan buku. Awal membeli buku dengan uang sendiri menjadi sesuatu hal yang mahal, karena sifatnya hanya memenuhi keinginan untuk mempunyai koleksi buku. Sekarang membeli buku menjadi sesuatu hal yang mewah dan penting, meskipun aku tidak punya anggaran khusus untuk membeli buku. Akibatnya keuangan kadang jadi kebakaran, anggaran terbesar dihabiskan untuk membeli buku. Belum ditambah jika ada keinginan untuk sesekali menyambangi kedai kopi. Nah, itu apa lagi?!

Setengah tahun ini memang masalah besar dan banyak menjadi sorotan adalah tentang keuangan. Bagiku tidak hanya masalah itu yang menjadi sorotan, ternyata selain keuangan ada masalah yang lebih besar yaitu mental. Diantara kalut pandemi ini, kondisi mental setiap orang diuji: apakah dia mampu dengan segala keterbatasan yang ada. Banyak yang mencoba bertahan hidup dengan cara berjualan, namun tidak sedikit juga yang bertahan hidup dengan tabungan. Bagi setiap orang akan berbeda-beda cara untuk bertahan di tengah kondisi ini. Orang-orang tua di sekitar kita pernah menghadapi krisis waktu tahun ‘98, sedangkan kita baru mengalaminya saat ini. Kasus yang berbeda, namun tetap sama-sama menyebabkan krisis dari berbagai sisi.

Tidak ada yang tahu akan terjadi pandemi seperti ini, juga tidak ada yang siap dengan konsisi saat ini. Sekalipun mereka yang memiliki materi yang cukup untuk menghidupi selama himbauan untuk tetap di rumah aja, tetapi hidup tetaplah hidup. Setiap manusia memiliki ujiannya masing-masing. Mungkin, memang disinilah titik yang dinamakan mensyukuri hidup. Bersyukur di tengah krisis yang sedang melanda masih diberikan kekuatan untuk tetap bertahan hidup. Hanya saja, ini kembali lagi pada setiap individu memandang sebuah krisis yang sedang berlangsung ini. Tidak setiap orang mau memaknai setiap hal yang terjadi, ada yang justru mengeluhkannya hingga tidak tahu harus berbuat apa, ada juga yang bisa nrimo dan menjalani apapun yang sedang terjadi saat ini.

Apapun pilihannya akan selalu ada sisi negatif dan positif dari suatu pilihan. Sebagai manusia yang hidup saling berdampingan dengan manusia lain tidak lantas bisa menghakiminya begitu saja. Kalau memungkinkan, saling belajar untuk sama-sama bertahan menghadapi keadaan justru akan menjadi sesuatu hal yang sangat bermanfaat. Kalau tidak memungkinkan, setidaknya diri sendiri tidak merugikan manusia lainnya. Kembali lagi pada sebuah pilihan dari setiap manusianya. 

೦೦೦೦೦

Tidak terkecuali; diriku sendiri.

Memang benar, krisis sangat mengikis kondisi mentalku. Sebagai seorang introvert, rumah menjadi tempat paling nyaman untuk menepi dari ingar-bingar dunia. Akan tetapi saat pandemi seperti ini, rumah sudah menjadi teman sehari-hari hingga rasanya bosan berada dalam rumah yang semakin lama rasanya semakin sesak. Sesekali memang butuh untuk menyegarkan diri dengan bepergian. Namun, bepergian pun harus menggunakan masker, kalau perlu pakai face shield, harus rajin cuci tangan, dan juga jaga jarak. Sedikit ribet hingga terkadang membuatku malas keluar rumah meskipun sudah bosan berada di dalam rumah.

Krisis juga menyerang kepalaku, yang sibuk memikirkan berbagai macam hal. Sibuk merangkai berbagai rencana yang akan dilakukan setelah pandemi ini berakhir. Sibuk mencari kesibukan untuk mengusir rasa bosan. Sibuk mengisi hari-hari dengan kegiatan agar tetap bermanfaat. Menghabiskan hari hanya untuk menonton drama Korea rasanya nikmat sekali, tetapi di malam hari aku merasa itu semua sia-sia. Sayang sekali kalau hanya menonton drama. Boleh menonton drama, tapi jangan seharian, tetap sisakan untuk melakukan kegiatan yang lebih bermanfaat daripada itu. 

Kepalaku menjadi sibuk hingga membuat mataku enggan terpejam di malam hari. Kadang hingga Subuh aku baru bisa memejamkan mata, kadang hanya sampai jam satu atau dua dini hari. Ku cari tau penyebab mengapa aku menjadi sulit tidur dan ternyata banyak sekali hal yang bersarang dalam benakku justru membuatku semakin memikirkannya. Rumit? Iya. Ada yang tumpang tindih di kepala meski tidak terlihat dari luar. Ada yang ruwet seperti benang kusut yang kehilangan ujungnya agar bisa diurai kembali. 

Krisis membuatku belajar banyak hal. Aku kehilangan beberapa hal, tetapi aku juga mendapatkan beberapa hal yang lainnya. Setengah tahun ini mengajarkanku memaknai segalanya. Segala yang aku punya, segala yang aku usahakan, segala yang aku khawatirkan, segala yang aku takutkan, hingga segala yang aku lepaskan. Memang bukan hal-hal yang besar, namun bukan berarti tidak penting, bukan? Memaknainya kembali menjadikanku teringat apa yang sudah aku lalaikan selama ini dan apa yang baru saja ku temukan kembali setelah melalui serangkaian peristiwa.

Hidup memang tidak akan selalu baik-baik saja, tetapi juga tidak selalu tidak baik-baik saja. Hidup itu seimbang: ada senang ada sedih, ada suka ada duka, ada tangis ada tawa, ada bahagia ada kecewa. Hidup juga tidak selalu memberi hal-hal yang manis, tetapi juga tidak melulu memberi hal-hal pahit. Sebagai manusia, kita hanya sama-sama menjalani garis kehidupan yang diberikan oleh Sang Pencipta. Sekuat apapun kita berusaha akan kalah dengan rencana-Nya yang lebih indah. Walaupun terkadang menyakitkan, tapi mungkin kita sebagai makhluk-Nya belum mampu memahami setiap hal yang kita terima. Iya, tidak setiap hal bisa diterima saat itu juga dan memang tidak harus diterima saat itu juga. Dianugerahi perasaan untuk merasakan dan akal untuk memikirkan. Tinggal menggunakan keduanya jika mau memahami apa rencana-Nya yang tidak sesuai yang kita mau.

Hidup memang tidak berjalan seperti apa yang kita mau. Di sisi lain, hidup juga tidak berjalan rumit seperti apa yang kita pikirkan, juga tidak berjalan sulit seperti apa yang kita rasakan. Ketidakmampuan kita menangkap suatu pelajaran dari sebuah peristiwa, sudah seharusnya menjadikan kita manusia yang ingin selalu berusaha mempelajari hidup yang sedang kita jalani. Jika lelah, ingatlah: bukankah pertolongan Allah hanya berjarak antara kening dan sajadah? 🙂

〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰
Yogyakarta, 05 Agustus 2020.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar