Kamis, 30 Juli 2020

[REVIEW BUKU]: Laki-laki yang Tak Berhenti Menangis – Sebuah Refleksi Diri Sebagai Manusia

“Tidakkah selain kelahiran salah satu perayaan terbesar manusia adalah kematian?” – hal. 35
Judul Buku:  Laki-laki yang Tak Berhenti Menangis
Penulis:  Rusdi Mathari
Penerbit:  Buku Mojok
Tebal  Buku:  112 halaman
Terbit:  Cetakan ketiga, Mei 2019
ISBN:  978-602-1318-80-5
IDR:  56.000

SINOPSIS :
Ketika kebencian merajalela, kedengkian meningkat, dan fanatisme terhadap agama memuncak, Cak Rusdi hadir membagikan kisah-kisah yang tak hanya menyejukkan hati melainkan mengajak manusia untuk berserah diri kepada-Nya.

REVIEW :
Buku ini menjadi buku kedua dari karya Cak Rusdi yang saya baca. Sebelumnya saya pernah membaca buku yang berjudul Laki-laki Memang Tidak Menangis, Tapi Hatinya Berdarah, Dik. Bukunya juga sudah saya review di sini: link review buku laki-laki memang tidak menangis. 

Buku ini yang isinya merupakan bagian dari refleksi diri seorang manusia adalah buku kelimanya setelah Aleppo (EA Books, 2016); Merasa Pintar, Bodoh Saja Tidak Punya (Buku Mojok, 2016); Mereka Sibuk Menghitung Langkah Ayam (Buku Mojok, 2018); dan Karena Jurnalisme Bukan Monopoli Wartawan (Buku Mojok, 2018).

೦೦೦೦೦

Buku ini merupakan kumpulan tulisan Cak Rusdi yang ditulis dengan gaya penceritaan seperti dongeng sebelum tidur dan sesekali petuah-petuah khas Khotbah Jumat. Tulisannya berisi mengenai refleksi dan pemahaman mengenai Islam yang rahmatan lil ‘alamin, santun, tidak grusa-grusu, dan lembut. Hal yang patut digarisbawahi terutama karena Islam sekarang sering kali disampaikan dengan nada-nada kelewat keras, sehingga terkesan menakutkan.

Beberapa tulisan di buku ini juga merupakan refleksi Cak Rusdi sendiri sebagai manusia. Pemahaman mengenai Islam banyak digunakan dalam buku ini untuk menyampaikan kisah-kisah yang dapat diteladani oleh pembaca yang menganut keyakinan yang sama. Disisi lain, beberapa tulisan di buku ini mengajarkan bagaimana beragama itu menjadikan seseorang yang mempunyai rasa kemanusiaan yang lebih.

೦೦೦೦೦

Buku Laki-laki yang Tak Berhenti Menangis ini terdapat 23 tulisan dengan tebal buku 112 halaman. Tulisan-tulisan di dalamnya ditulis secara singkat, namun pesan-pesan yang ingin disampaikan penulis ditulis dengan lugas. Pembaca buku ini dapat dengan mudah untuk memahaminya, karena kisah-kisah yang disampaikan juga ringan untuk dibaca.

Ada banyak hal yang saya dapatkan dari buku ini. Membacanya saya seperti sedang mengingatkan diri sendiri untuk memiliki rasa toleransi terhadap sesama manusia, baik terhadap orang-orang yang berkeyakinan yang sama maupun orang-orang yang tidak memiliki keyakinan yang sama. Hal yang paling berkesan bagi saya adalah membaca setiap diksi tulisan dalam buku ini. Saya merasa tulisannya tidak menggurui dan menurut saya, membaca tulisan di buku ini membawa rasa sejuk. Menyejukkan. Adem.

Saya sempat bertanya mengapa judul buku ini Laki-laki yang Tak Berhenti Menangis dan jawabannya saya dapatkan di dalam satu tulisan di buku ini. Kisah tentang Nuh a.s dengan seekor kambing yang ia cela menjadikannya sebagai seorang laki-laki yang tak berhenti menangis. Ia merasa sombong dan merasa sempurna sebagai manusia hingga tak punya kesempatan untuk meminta maaf karena kambing itu telah pergi. Sebuah pesan tersendiri untuk diri saya sendiri agar tidak menyepelekan segala sesuatu karena sejatinya penciptaku dan penciptamu sama. Ciptaan-Nya. Ciptaan Tuhan.

Bagian yang sangat saya sukai di buku ini ada pada tulisan yang berjudul Kakbah (hal. 41). Berikut kutipannya:
“Ketika Nabi membersihkan dari (dalam) Kakbah banyak berhala, yang sesungguhnya dimusnahkan adalah kebusukan hati dan kehancuran moral manusia.
Dengan kalimat berbeda: bukan soal patung (yang dihancurkan) itu benar, pelajaran yang hendak disampaikan oleh Nabi kepada manusia, melainkan pelajaran untuk selalu membersihkan hati dari segala rupa berhala, sehingga manusia bisa bersikap sebagai manusia yang hanif. Manusia yang tidak mengikuti hawa nafsu.
Bait Allah (Kakbah) yang sesungguhnya, karena itu harus dipahami tak hanya secara harfiah secara fisik (sekadar bangunan), sebab ada sesuatu yang lebih mendasar dan lebih penting dari sekadar itu, yaitu sesuatu yang tak tampak dan bersemayam pada hati (rasa) manusia.”
Selain tulisan yang berjudul Kakbah, saya juga menyukai tulisan yang berjudul Bidah (hal. 63) yang menceritakan tentang laki-laki yang berselawat sambil memukul rebana di Hijir Ismail dengan laki-laki bergamis, berserban, dan berjanggut. Dari cerita tersebut pesan yang ingin disampaikan adalah: 
“Janganlah lekas menghukumkan sesuatu kepada orang lain yang keyakinan, pemahaman, dan perbuatannya tidak sesuai atau bertolak belakang dengan keyakinan, pemahaman, dan perbuatan kita. Sungguh, andai Allah menghendaki maka segala sesuatunya niscaya akan dibuat sama dan seragam, tapi Allah justru membuat semuanya berbeda. Dan sebab perbedaan itulah, manusia mestinya bisa berpikir dan merenung: siapa dirinya, dan untuk apa dirinya ada di dunia.”
Tulisannya lainnya yang saya sukai adalah tulisan yang berjudul Ilmu, yang membuat saya merasa penting untuk menuntut ilmu sepanjang hidup. Ada satu kutipan yang saya suka dari bagian ini: “Mencari ilmu. Itulah cahaya orang-orang yang beriman di dunia dan di akhirat.”

Selain itu, ada juga tulisan yang berjudul Burung, yang mengingatkan pada QS. At-Thalaq baris ketiga: “...untuk tiap sesuatu, Allah telah menetapkan kadar masing-masing.” Saya seperti sedang dinasehati tentang apa-apa yang ada di kehidupan setiap manusia, Allah sudah menetapkan sesuai porsinya.

Tulisan terakhir yang saya sukai dari buku ini yaitu tulisan yang berjudul Nasrani, yang menceritakan tentang Rasulullah yang memberikan contoh untuk berbuat baik kepada sesama manusia. Salah satunya seperti kisah yang terjadi pada sebuah sore di Madinah: mengizinkan orang-orang Nasrani beribadah di Masjid Nabawi.

Saya sangat menyukai buku ini dan sangat menikmati saat membaca buku ini. Saya jadi ingin membaca karya-karya beliau yang lainnya. Secara keseluruhan, membaca buku ini menjadi bahan refleksi terhadap diri sendiri. Tulisannya ringan dan disampaikan dengan gaya bahasa yang tidak menggurui membuat pesan-pesan yang ingin disampaikan oleh penulis dapat dipahami dengan mudah oleh setiap pembacanya. 

Kalau teman-teman sedang mencari buku bacaan dengan nuansa religius dan ringan, saya merekomendasikan buku ini. Saya memberi 5 bintang untuk buku Laki-laki yang Tak Berhenti Menangis.

Terima kasih sudah membaca. Sampai jumpa di postingan selanjutnya, ya!

KUTIPAN TERBAIK
“Urusan akidah adalah urusan masing-masing individu tapi urusan berhubungan baik dengan sesama manusia adalah urusan bersama.” – hal. 101
Share:

0 komentar:

Posting Komentar