Sabtu, 25 Juli 2020

[REVIEW BUKU]: Melihat Api Bekerja – M. Aan Mansyur

“Jika aku sakit, tersenyumlah. Tidak ada yang cukup di dunia ini–tapi senyuman tidak pernah kurang.” – hal. 135
Judul Buku:  Melihat Api Bekerja
Penulis:  M. Aan Mansyur
Ilustrator:  Emte
Penerbit:  PT Gramedia Pustaka Utama
Tebal  Buku:  196 halaman
Terbit:  Cetakan keenam, Oktober 2017
ISBN:  978-602-03-1557-7
IDR:  53.000

SINOPSIS :
Aku benci berada di antara orang-orang yang bahagia. Mereka bicara tentang segala sesuatu, tapi kata-kata mereka tidak mengatakan apa-apa. Mereka tertawa dan menipu diri sendiri menganggap hidup mereka baik-baik saja. Mereka berpesta dan membunuh anak kecil dalam diri mereka.

Aku senang berada di antara orang-orang yang patah hati. Mereka tidak banyak bicara, jujur, dan berbahaya. Mereka tahu apa yang mereka cari. Mereka tahu dari diri mereka ada yang telah dicuri.
– Menikmati Akhir Pekan

“Aan adalah salah seorang dari dua atau tiga penyair kita yang berhasil memaksa kita dengan cermat mendengarkan demi penghayatan atas keindahan dongengnya.” – Sapardi Djoko Damono.

REVIEW :
Buku ini menjadi buku ketiga karya Mas Aan Mansyur yang saya baca. Dulu saya pernah membaca bukunya yang berjudul Kukila dan Tidak Ada New York Hari ini, dari sanalah saya penasaran dengan karya-karya beliau. Ketika saya membaca sinopsis dalam buku ini, saya setuju sekali dengan pendapat Pak Sapardi Djoko Damono: penyair yang berhasil memaksa kita dengan cermat mendengarkan demi penghayatan atas keindahan dongengnya.

M. Aan Mansyur lahir di Bone, Sulawesi Selatan. Bekerja sebagai relawan di Komunitas Ininnawa dan pustakawan di Katakerja, di Makassar. Selain sajak, ia juga menulis prosa dan esai. Karya-karyanya juga bisa ditemui di berbagai media dan buku antologi.

Muhammad Taufiq (Emte) lahir di Jakarta. Hobi menggambarnya sejak kecil dan ketertarikannya terhadap berbagai hal tentang seni dan desain menjadikannya aktif berprofesi sebagai ilustrator dan desainer grafis freelance hingga kini.

೦೦೦೦೦

Buku Melihat Api Bekerja merupakan buku kumpulan puisi karya Aan Mansyur yang kolaborasi dengan ilustrator, Emte (Muhammad Taufiq). Di dalam buku ini terdapat 54 tulisan dan setiap tulisan dilengkapi ilustrasi. Menjadikan kita sebagai pembaca tidak hanya menikmati tulisan tersebut, tetapi juga diajak untuk menikmati ilustrasi yang ada. Dilihat dari sampul buku ini terdapat gambar seorang perempuan yang sedang menangis/mengeluarkan air mata, sedangkan di kepalanya terdapat rangkaian tanaman atau bunga yang tumbuh. Seolah-olah sedang menggambarkan isi bukunya mengenai kesedihan seorang perempuan dan pikiran-pikiran yang tumbuh di kepalanya.

೦೦೦೦೦

Pada pembuka buku ini diisi dengan kata pengantar oleh Sapardi Djoko Damono. Penulis yang baru saja berpulang ke Rahmatullah dan membuat saya menghentikan sejenak untuk menulis review buku ini. Saya belum pernah bertemu beliau, saya hanya mengenal beliau lewat karya-karyanya, tetapi saat ditinggalkan juga merasakan sangat kehilangan. Selamat berpulang, Pak. Beristirahatlah dengan tenang. Karya-karyamu abadi.

Kembali ke topik..

Di dalam kata pengantar tersebut Pak Sapardi berkata bahwa, “Saya merasa seperti mendengarkan si penyair sedang mendongeng di hadapan saya. Saya merasa Aan berhadapan dengan saya dan dengan seenaknya menyampaikan apa yang terlintas dalam pikirannya.” Lalu ketika membaca buku ini saya menemukan gaya penulisan puisi yang berbeda, yang tidak terpaku pada rima namun bahasanya tetap puitis.

Membaca buku ini seperti sedang membaca tulisan biasa, tetapi ternyata buku ini adalah buku puisi. Kita sebagai pembaca ikut hanyut dalam diksi yang puitis dan magis. Tulisan-tulisan didalamnya membicarakan tentang perempuan: perempuan yang dicintainya, ibunya maupun kekasihnya. Seperti dalam puisi yang berjudul Mengingat Pesan Ibu:
“Seluruh yang kaumiliki bukan yang kaumau. Seluruh yang kaumau bukan yang kaubutuh. Seluruh yang kaubutuh bukan yang mampu kaujangkau. Seluruh yang mampu kaujangkau luruh dan sia-sia belaka. “Berhenti. Jangan berangkat sebelum tiba,” katanya.”
Membaca puisi itu saya seperti sedang diingatkan untuk menunggu sebentar lagi. Sedikit lagi. Sampai tiba waktu yang tepat. Kemudian puisi tentang kekasihnya–sekaligus menjadi salah satu puisi yang saya suka dari buku ini–yang berjudul Menenangkan Rindu:
“Jangan percaya pada kartupos dan kamera seorang petualang. Menyelamlah ke ingatannya dan temukan senja selalu basah di sana. Kau hanya boleh jatuh cinta kepada ingatan yang menyerupai langit: rentan dan tidak mudah dikira. 
Dia meninggalkanmu agar bisa selalu mengingatmu. Dia akan pulang untuk membuktikan mana yang lebih kuat, langit atau matamu.”
Selain membicarakan tentang perempuan, buku ini juga membicarakan tentang pergumulan dirinya sendiri menghadapi lingkungan sekitarnya, seperti baris terakhir puisi yang berjudul Mengamati Lampu Jalan:
“Tapi lampu jalan dekat pohon yang baru ditebang itu merahasiakan perasaannya. Ia tetap menunggumu di sana dengan cahaya yang sama. Kau seperti biasa berjalan pulang kerja melewatinya, juga melewati lampu jalan depan rumahmu yang mati, sambil berpikir betapa berbahaya kesedihan.”
Menurut saya, lampu jalan yang mati jika diibaratkan sebagai manusia adalah seseorang yang menyembunyikan perasaannya. Lampu jalan yang mati jika sampai membuat lampu jalan yang lainnya ikut mati maka jalanan kota akan menjadi gelap. Begitu juga manusia, jika ia bersedih dan ia menampakkan kesedihannya, energi kesedihannya akan sampai ke lingkungan sekitar. Lingkungan sekitarnya juga ikut sedih. Sedangkan itu, jika ia bahagia dan ia menampakkan kebahagiaannya itu, energi positifnya akan sampai ke lingkungannya juga. Di sini saya seperti sedang dinasehati untuk bersedih secukupnya, berbahagia juga seperlunya. Sedih dan bahagia dalam hidup sama seperti dua sisi koin.

೦೦೦೦೦

Saat saya membaca buku ini, saya sedang membaca buku yang lainnya. Awalnya saya kira buku ingin ringan untuk dibaca, namun ternyata saya salah. Bagi saya buku ini cukup berat untuk saya baca, karena ketika saya membaca buku saya senang sekali memahami maknanya, kemudian menginterpretasikan suatu hal yang saya dapat ke kehidupan dunia nyata. Sedangkan ketika membaca buku ini perlu berulang kali memahaminya dan benar-benar saya dibuat merenung memikirkan apa maknanya. Mungkin memang ini saatnya saya tidak perlu terlalu serius memaknai sebuah buku, menikmati saat membaca buku itu sudah cukup. Lalu saya memutuskan untuk menikmatinya saja.

Saya merekomendasikan buku ini buat teman-teman yang ingin membaca karya Mas Aan Mansyur. Meskipun bagi saya cukup berat, namun saya rasa saya tidak bosan untuk membacanya lagi. Juga, membaca karya-karyanya yang lain. Saya memberi 3/5 bintang untuk buku Melihat Api Bekerja.

Sudah pernah membaca buku Melihat Api Bekerja? Apa pendapatmu mengenai buku ini? Sharing di kolom komentar, yuk! 😉

Terima kasih sudah membaca. Sampai jumpa di postingan selanjutnya, ya!

KUTIPAN TERBAIK
“Ketika kenangan mengembalikan sesuatu tentang dirinya kepadamu, kau tahu ada hari-hari tertentu dalam hidupmu tak hendak selesai. Hari-hari yang ditakdirkan menjadi musik yang baik bagimu.” – hal. 145
Share:

0 komentar:

Posting Komentar