Selasa, 30 Juni 2020

(Masih) Tentang Menikah

Halo, teman-teman semuanya! 
Tulisan kali ini saya ingin berbagi dan bercerita, mungkin bisa sambil curhat, hehe. Masih membahas tentang hal yang sama yaitu menikah, mungkin anggap saja sebagai kenang-kenangan kalau suatu saat saya memutuskan untuk menikah atau anggap saja sebagai pandangan saya mengenai pernikahan.


Jumat, 26 Juni 2020

Sabtu, 06 Juni 2020

[REVIEW BUKU]: Membaca Kisah Cinta Tak Pernah Tepat Waktu - Puthut EA

“Kenangan. Ia bisa datang dari apa saja, dari mana saja, seperti setan. Ia bisa menyentak ketika kita sedang mengaduk minuman. Ia bisa menerabas hanya lewat satu adegan kecil di film yang sedang kita tonton. Ia bisa menyeruak dari sebuah deskripsi novel yang sedang kita baca. Ia bersemayam di mana-mana, di bau parfum orang yang bersimpangan dengan kita, di saat kita sedang termangu di pantai, di saat kita sedang mendengarkan lagu.”


Judul Buku:  Cinta Tak Pernah Tepat Waktu
Penulis:  Puthut EA
Penyunting: Eka Kurniawan
Penerbit:  Buku Mojok
Tebal  Buku:  256 halaman
Terbit:  Cetakan ketujuh, Januari 2018
ISBN:  978-602-1318-55-3
IDR:  78.000

SINOPSIS        :
Aku tak ingin cinta sejati. Tapi biarkan aku mencicipi cinta yang bukan hanya sesaat. Biarkan aku berjuang dan bertahan di sana. Biarkan aku tersiksa untuk terus belajar bersetia. Aku rela tenggelam di sana, sebagaimana segelintir orang yang beruntung mendapatkannya.

REVIEW        :
Ini pertama kalinya saya membaca buku karya Puthut EA dan itu membutuhkan waktu yang cukup lama. Buku ini saya beli setelah bulan Ramadhan tahun 2018 dan beberapa hari yang lalu saya baru saja merampungkan membaca buku ini. Ketika saya sudah selesai membacanya.. saya benar-benar dibuat takjub!

೦೦೦೦೦

Buku Cinta Tak Pernah Tepat Waktu menceritakan tentang tokoh “aku”, seorang laki-laki yang sudah memasuki usia untuk menikah dan lingkungan keluarganya sudah berulang kali menyampaikan hal tersebut padanya. Ia merasa terganggu dengan hal itu dan memilih menghindar dengan menyiapkan jawaban-jawaban untuk orang tuanya dan saudara-saudaranya.

Kegalauannya tentang menikah karena ia mengalami kegagalan dalam hubungannya. Beberapa perempuan yang ia dekati hanya untuk main-main saja. Ia tidak pernah serius karena hidupnya sendiri tergolong serampangan. Ia tidur saat orang lain beraktivitas, sedangkan ia aktif saat orang lain beristirahat. Perempuan-perempuan yang ia dekati dikiriminya SMS maupun surat, sebagian mau membalasnya tetapi sebagian yang lain malas membalas karena risih dikirimi SMS maupun surat yang tidak jelas kelanjutannya.

“Sudah lama aku tidak jatuh cinta. Sudah lama aku bertekad untuk menyingkirkan cinta dari kehidupanku. Tidak untuk cinta. Tidak untuk hal ihwal cinta yang cenderung kuanggap menjijikkan. Aku pikir, aku sudah sampai pada keputusan final tentang cinta: omong kosong!”. (hal. 43)

Ada saat-saat dimana ia beruntung, perempuan yang dikiriminya SMS mengajak untuk bertemu. Namun, setelah pertemuan itu dirinya masih tidak mampu menjawab pertanyaan tentang perasaannya kepada perempuan itu. Tentu saja perempuan tidak mau digantung, perempuan selalu membutuhkan sebuah kepastian. Lagi-lagi, ia tidak beruntung.

Masalahnya bukan ketidakseriusannya pada setiap perempuan yang didekatinya. Dia hanyalah seseorang yang sedang bermasalah dengan dirinya sendiri. Dia adalah seseorang yang belum selesai dengan masa lalunya. 

೦೦೦೦೦

Buku setebal 256 halaman ini dibagi menjadi 15 bab dengan rangkaian cerita acak dan menggunakan alur campuran (maju-mundur). Awalnya saya mengira buku ini merupakan kumpulan cerita pendek karena pada setiap bab saya sering mendapati cerita yang berloncatan, tetapi ternyata ketika membaca lebih lanjut saya menemukan kesinambungan setiap cerita. 

Penulis menggambarkan tokoh utama sebagai seseorang yang bermasalah dengan dirinya sendiri sekaligus seseorang yang memperumit dirinya sendiri. Seperti saat tokoh “aku” memposisikan dirinya menghadapi perempuan yang meminta kepastian darinya, disana tokoh “aku” digambarkan sebagai seseorang yang kelimpungan menjawab pertanyaan itu. Alih-alih memberi kepastian, ia justru memberi jawaban lain yang membuat perempuan tersebut menganggap kalau ia sangat menyebalkan. Pemikirannya yang rumit membuat pembaca ikut kesal saat membacanya. (Ini kalau kata warganet Twitter: “pengen tak hih!” 😠😂)

Atau saat tokoh “aku” menghadapi kenangan yang sering mendatanginya. Ia menjadi seseorang yang menikmati kenangan seakan-akan tidak ingin beranjak dari sana. Sialnya lagi, setiap badai kenangan itu turun, ia hanya mempunyai satu kepastian: rasa sedih yang menyesakkan (hal. 167). Hal inilah yang membuat tokoh “aku” menjadi seseorang yang tidak semangat menjalani hidupnya, mudah menyerah, dan mudah putus asa menghadapi ketidakberesan dalam dirinya sendiri.

Dalam buku ini, penggambaran tokoh “aku” diceritakan pada satu bab berjudul Bab Khusus, Tentang Kamu, Untuk Kamu. Penulis menceritakan tokoh aku tentang bagaimana ia dengan pekerjaannya, bagaimana ia dengan Tuhan dan agama, bagaimana ia mengelola stres, bagaimana ia dengan hidupnya untuk tidak berlebihan, dan bagaimana ia merespon isu sosial di lingkungannya. Bab ini menceritakan tokoh aku dengan kata ganti “kamu”, menurut saya, ini semacam tokoh “aku” sedang menceritakan tentang dirinya sendiri melalui kata ganti “kamu”, sehingga yang dituliskan dalam cerita itu semacam refleksi dirinya sendiri.

Bagi saya sendiri, bagian menarik dari buku ini adalah cerita tentang surga-surga kecil. Tokoh “aku” dalam buku ini memiliki surga-surga kecil atau tempat-tempat yang menurut saya merupakan tempat dimana tokoh “aku” menyembuhkan ketidakberesan dalam dirinya. Surga-surga kecil itu berada di Malang, rumah Tante Wijang–dimana Tante Wijang adalah saudara dari Lia, mantannya. Surga kecil di rumah Tante Wijang juga sebagai tempat dimana tokoh “aku” mengenal meditasi dan yoga, salah satu cara untuk menenangkan dirinya sendiri. 

Surga kecil selanjutnya ada di Bandung, sebuah toko buku kecil yang didirikan oleh anak muda yang ingin membuat komunitas alternatif. Lalu masih ada surga kecil di Pacitan yang merupakan sebuah desa budaya, kemudian di Sleman yaitu rumah Mas Truno seorang petani yang cerdas dan kritis, dan terakhir surga kecil di Banyuwangi yaitu sebuah rumah terapung. Surga-surga kecil itu seperti penyegaran dalam buku ini karena tokoh “aku” menyukai tempat-tempat tersebut hingga membuat saya terhanyut dalam cerita dan membayangkan saya berada di tempat-tempat itu. (Duh.. asyik kalau beneran! 😄)

Bagian yang membuat saya benar-benar takjub dengan buku ini ada pada bab terakhir. Ternyata, tokoh “aku” adalah seseorang diantara Puthut EA, Muhidin M. Dahlan, dan Eka Kurniawan–beberapa penulis besar di Indonesia. Saya jadi mengira-ngira bahwa tokoh “aku” bukan tokoh fiksi semata, melainkan benar-benar ada di dunia nyata dan buku ini adalah cerita nyata bukan hanya novel saja. Saya tidak tahu bagaimana lebih jelasnya, tapi saya penasaran, hehehe.

Kekurangan buku ini terletak pada ceritanya yang acak dan berloncatan. Kalau tidak benar-benar fokus membaca malah dibuat bingung sama seperti apa yang saya alami saya pertama membaca buku ini. Tetapi secara keseluruhan, saat membaca lebih lanjut akan menemukan jalan untuk dapat menikmati buku ini. 

Saya merekomendasikan buku ini bagi teman-teman yang senang membaca kisah sendu mengenai percintaan dan bagi teman-teman yang menyukai sebuah novel dengan gaya bahasa yang puitis. Saya memberi 4 bintang untuk buku Cinta Tak Pernah Tepat Waktu ini.

Terima kasih sudah membaca. Sampai jumpa di review buku selanjutnya, ya! 😊🙏

KUTIPAN TERBAIK
“Jangan biarkan aku membenci diriku terus-menerus. Jangan biarkan. Aku hanya ingin sedikit sembuh, dari dunia yang sakit ini. Aku tidak ingin cinta yang sejati. Tapi, biarkan aku mencicipi cinta yang bukan sesaat. Biarkan aku berjuang dan bertahan di sana. Biarkan aku tersiksa untuk terus belajar bersetia. Aku rela tenggelam di sana, sebagaimana segelintir orang yang beruntung mendapatkannya. Sesungguhnya, aku hanya ingin kebahagiaan yang sederhana.” – hal. 8