Sabtu, 09 Mei 2020

Tentang Menikah


Halo, selamat berjumpa lagi! 

Kalau biasanya saya membahas tentang ulasan suatu buku, kali ini saya ingin membahas tentang suatu hal yang dekat dengan saya pribadi kemudian saya kaitkan dengan buku yang akhir-akhir ini sedang saya baca.

೦೦೦೦೦

Berbicara mengenai rencana hidup memang tidak akan ada habisnya. Seseorang pasti memiliki banyak rencana dan mimpi-mimpi yang ingin diwujudkan selama hidup di dunia ini. Karena katanya hidup cuma sekali, sayang kalau nggak dinikmati. Banyak rencana dan mimpi yang dimiliki seseorang, baik rencana besar maupun rencana kecil, begitu pula mimpi-mimpinya. 

Tidak terkecuali, saya sendiri yang juga memiliki rencana hidup serta mimpi-mimpi yang ingin saya wujudkan. Akhir-akhir ini, topik selepas kuliah S1 yang masih menggema adalah beberapa hal ini: lanjut S2, bekerja, atau menikah. Sebagai contoh kemarin ketika saya mengunggah story WhatsApp mengenai pengambilan ijazah dalam waktu dekat ini, saya memberi caption: “dah abis ini mau apa?”, disertai emoticon meringis. Buat saya itu hanya iseng-iseng saja, tidak ada tujuan apa-apa. Terhitung lebih dari satu yang menanggapi dengan menyarankan untuk menikah saja, tetapi juga lebih dari satu yang menanggapi untuk mengambil beasiswa dan melanjutkan S2.

Mungkin, topik tersebut bukan saya sendiri yang merasakannya. Barangkali teman-teman pembaca blog ini juga merasakannya? Boleh sharing di kolom komentar 😊 Buat saya, topik pertama dan kedua tidak terlalu menakutkan, tetapi jika sudah menyangkut topik yang ketiga, bagi saya hal tersebut masih menakutkan. Ketiga topik tersebut masih saja mengisi ruang kepala saya dalam kurun waktu belakangan. Pilihan saya tentu saja ada dalam dua pilihan awal, karena tidak mungkin memilih pilihan yang ketiga. Iya, saya nggak perlu bilang, sebagian teman-teman saya sudah tahu kalau saya tetap memilih sendiri di usia saya saat ini.

Pilihan untuk sendiri sejujurnya bukan tanpa alasan. Saya memiliki alasan mengapa masih betah sendiri dan tidak segera mencari doi seperti yang teman-teman saya lakukan. Mungkin diantara beberapa hal tersebut salah satu faktornya adalah saya masih nyaman sendiri. Saya masih nyaman bepergian kemana-mana sendirian. Saya juga masih nyaman karena hanya memikirkan diri sendiri. Kadang saya berpikir kalau seseorang yang sudah siap menikah adalah seseorang yang sudah selesai dengan dirinya sendiri, tetapi kadang saya juga berpikir kalau seseorang tidak akan pernah selesai dengan dirinya sendiri bahkan seseorang yang sudah menikah sekalipun. 

Kalau kamu pernah memikirkan hal tersebut, kita sama! Saya punya kekhawatiran kalau saya yang tidak akan pernah selesai dengan diri saya sendiri ini akan berakhir sendirian karena tidak akan ada yang kuat menemani saya. Juga, saya khawatir kalau sebenarnya pemikiran saya mengenai seseorang yang tidak akan pernah selesai dengan dirinya sendiri itu menjadikan laki-laki takut untuk mendekati saya. Padahal saya pikir, saya juga butuh tempat untuk pulang. Bukankah menemukan dia adalah menemukan tempat untuk pulang? 🙂

Kemarin, saya mengantarkan sahabat saya untuk COD pesanannya. Sahabat saya adalah sahabat sejak masa putih abu-abu yang statusnya saat ini sudah menikah. Sepanjang perjalanan kami banyak bercerita mengenai dunia menikah. Iya, dia banyak bercerita kepada saya, sekadar curhat dan tentu saja untuk menasehati saya sebagai sahabatnya yang belum menikah. Hal yang bisa saya simpulkan dari percakapannya adalah tentang dirinya sendiri. Sahabat saya adalah seorang perempuan dan saya juga seorang perempuan. Jika di dalam rumah tangga, posisi kami sama yaitu menjadi seorang istri sekaligus menjadi seorang ibu. Dua peran yang tentu tidak mudah, bukan? Tentu saja, iya!

Sahabat saya bercerita bahwa menjadi istri sekaligus menjadi ibu merupakan hal yang sangat menyita waktu. Bisa dibayangkan? Iya, saya kalau diceritain gitu suka auto membayangkan (efek saya suka baca buku fiksi ya begini, wkwk). Ketika sudah menikah waktu benar-benar tersita untuk mengurus rumah, apalagi jika sudah mempunyai anak, waktu tersita untuk mengurus anak. Dua kesibukan yang sebetulnya kadang membuat saya suka berpikir bahwa sebagai perempuan kalau waktunya sudah tersita untuk mengurusi hal tersebut, kapan waktu untuk dirinya sendiri?

Saya berpikir bahwa perempuan jika sudah menikah maka ruang geraknya menjadi terbatas. Itu pikiran saya jauh-jauh hari sebelum bertemu sahabat saya kemarin sore. Jadi, saya sendiri juga sudah memikirkan kemungkinan jika sudah menikah maka ruang geraknya tidak leluasa seperti saat masih sendiri. Saya bercerita bahwa saya kadang membayangkan bagaimana rasanya berada pada posisinya, menjadi istri sekaligus ibu di usia muda, tidak pergi bekerja dan memilih menghabiskan waktu untuk mengurus rumah, suami, dan anak. Ada rasa ketidaksanggupan dalam diri saya sendiri ketika saya berada dalam posisi tersebut, mungkin ini efek membayangkan saja? atau mungkin ini efek karena belum menjalaninya?

Yah, kadang saya suka overthiking, suka takut terhadap hal-hal yang belum terjadi dalam hidup saya sendiri. Tidak enak menjadi overthiking.. rasanya tidak tenang. Jangan dicoba, ya? Biar aku saja~ (lah kok jadi Dilan 😐). Ohya, tentu saja itu pemikiran saya yang cupet karena sebetulnya saya belum paham dengan peran yang sudah diemban ketika memilih untuk menjalani posisi tersebut. Kalau saya sudah paham tentu tidak akan mempertanyakan mengenai konsekuensi dan tanggung jawab peran tersebut. Mungkin saat ini saya masih ingin main-main dan menyenangkan diri sendiri, itulah hal yang tadi saya pikirkan ketika mengobrol dengan sahabat saya.

Lanjut, pesan darinya—yang menjadi pemikiran saya juga—memberitahu saya untuk tidak buru-buru menikah. Saat ini waktunya untuk memuaskan diri bermain kesana kemari dan tertawa (lho malah nyanyi! 😥) dan memuaskan diri untuk menyenangkan diri sendiri dulu karena menikah sudah menyita sebagian besar waktunya. Dalam hati saya: setuju!

೦೦೦೦೦

Hal tersebut mengingatkan saya ketika membaca sebuah buku berjudul Kapan Kamu Nikah?: Jangan Menikah! Kalau Cuman Ikut-Ikutan karya Sophia Mega, dkk. Buku itu saya beli bulan November tahun 2019 dan belum selesai saya baca. Saya baru membaca sampai halaman 50 dan tepat pada topik pembahasan: SIAPKAN DIRIMU. Namun, sebelum pembahasan itu saya diajak untuk mempelajari alasan mengapa memutuskan untuk menikah. 

Iya sih, alasan seseorang memutuskan untuk menikah pasti akan berbeda-beda. Mengutip dari buku ini dikatakan bahwa “Tujuan memang sesuatu yang abstrak dan kompleks. Setiap manusia bisa memiliki tujuannya sendiri-sendiri, termasuk tujuan menikah. Tetapi, mengapa orang menikah? Memang menjadi fitrah atau naluri manusia untuk menikah. Manusia cenderung tidak ingin hidup sendiri, ingin ditemani, dan berbagi suka maupun duka. Rasa suka, cinta, dan saling mengasihi merupakan karunia yang diberikan oleh Tuhan. Tanpa bisa kita atur, dengan sendirinya kita akan memiliki kecenderungan untuk menyukai, menyayangi, dan mencintai.”

Bener banget! Kalau dulu saya hanya mengerti bahwa jatuh cinta adalah fitrah, sekarang lebih dari jatuh cinta, melainkan memiliki satu sama lain sehingga rasa itu yang terus menerus dibawa selama seseorang tersebut ingin berkomitmen dengan pilihannya masing-masing. Kemudian, pada bab selanjutnya, saya juga diajak untuk mengatasi ketakutan sebelum memutuskan untuk menikah. Dalam bab ini diungkapkan istilah mental block yaitu merupakan hambatan mental maupun psikologis seseorang terhadap suatu keadaan. Dalam buku ini dijelaskan bahwa mental block terhadap pernikahan bisa berarti kita berada di situasi yang menyebabkan diri sendiri tidak ingin, takut, dan cenderung menghindar untuk menikah.

Nah, ketakutan tersebut bisa dijabarkan dalam tiga poin utama, yaitu:
a. Personal insecurity
b. Financial insecurity
c. Social insecurity

Sudah jelas masing-masing, ya? Mengenai personal insecurity adalah masalah individu masing-masing, maka bentuk ketakutannya bermacam-macam. Sedangkan untuk financial insecurity berasal dari akar yang sama dengan keresahan personal. Kemudian untuk social insecurity bisa disebabkan oleh faktor eksternal, bentuk paling umumnya adalah ketakutan yang bermula dari perasaan trauma.

Baru setelah itu memasuki pembahasan: SIAPKAN DIRIMU yang dibagi menjadi tiga poin yaitu memahami diri sendiri, menyelesaikan diri sendiri, dan menentukan langkah. Kalau bab pembahasan yang ini lebih mengutamakan pada pertanyaan kepada diri sendiri. Pembaca diajak untuk bertanya pada dirinya sendiri mengenai pemahaman terhadap dirinya sendiri, kemudian penyelesaian masalah yang ada pada dirinya sendiri, sekaligus menentukan langkah bagi dirinya sendiri.

Well, sebetulnya pada bab mengatasi ketakutan diungkapkan mitos-mitos seputar dunia pernikahan salah satunya adalah ruang gerak yang terbatas. Ketika pagi ini berkesempatan untuk membaca ulang, saya justru kembali tercerahkan untuk mengatasi hal tersebut. Hadeh, beginilah efek tidak segera menyelesaikan membaca buku -___-

Ulasan buku versi lebih lengkap akan saya tulis dalam postingan yang berbeda. Kali ini saya menyampaikan sebatas pada hal yang masih berkaitan dengan saya pribadi dan buku yang saya baca. Nanti kalau sudah selesai membaca, saya akan menulis lagi.

Sampai jumpa di postingan selanjutnya, yaaa. See ya! 😉
Share:

0 komentar:

Posting Komentar