Jumat, 15 Februari 2019

[REVIEW BUKU]: KAMBING & HUJAN – SEBUAH AJAKAN HARGAI PERBEDAAN

Judul Buku :  Kambing & Hujan
Penulis :  Mahfud Ikhwan
Penyunting :  Achmad Zaki
Penerbit :  Penerbit Bentang (PT Bentang Pustaka)
ISBN :  978-602-291-027-5
Tebal  Buku :  374 halaman
Terbit : Cetakan pertama (Mei, 2015)

SINOPSIS :
Miftahul Abrar tumbuh dalam tradisi Islam modern. Latar belakang itu tidak membuatnya ragu mencintai Nurul Fauzia yang merupakan anak seorang tokoh Islam tradisional. Namun, seagama tidak membuat hubungan mereka tidak baik-baik saja. Perbedaan cara beribadah dan waktu hari raya serupa jembatan putus yang memisahkan keduanya, termasuk rencana pernikahan mereka.

Hubungan Mif dan Fauzia menjelma tegangan antara hasrat dan norma agama. Ketika harus diperjuangkan melintasi jarak kultural yang rasanya hampir mustahil mereka lalui, Mif dan Fauzia justru menemukan sekelumit rahasia yang selama ini dikubur oleh ribuan prasangka. Rahasia itu akhirnya membawa mereka pada dua pilihan: percaya akan kekuatan cinta atau menyerah pada perbedaan yang memisahkan mereka.

“Novel yang menarik dan mengalir, enak dibaca.” – Ahmad Syafii Maarif, tokoh Muhammadiyah
“Bernilai sastrawi sekaligus ‘dokumentasi sosial’ yang berharga.” – Hairus Salim, budayawan Nahdlatul Ulama
“Sangat bagus. Counter atas narasi yang ingin menyeragamkan Islam dari persinggungannya dengan tradisi lokal sekaligus counter atas urban-sentrisme.” – Ronny Agustinus, pengasuh situs Sastra Alibi
“Bukan hanya asmara, tapi juga sejarah sebuah kampung, kehidupan sosial-politik, lengkap dengan tradisi keagamaan dan aspirasi modern.” – Zen Hae, penyair, kritikus sastra
“Kisah sepasang kekasih melawan kemustahilan; terpilin dalam rajutan sejarah, hubungan sosial, dan persaingan paham agama.” – Darmanto Simaepa, kandidat Ph.D. Antropologi Universitas Leiden
“Saya sangat menyarankan Anda untuk membaca novel ini.” – Wahyu Adi Putra Ginting, kritikus sastra, redaktur Mediasastra.com

REVIEW :
Amazing! Saya tidak berhenti bergumam ketika membacanya. Novel ini seperti mempunyai daya magis untuk menarik saya agar tetap membacanya sampai akhir. Berawal dari review seorang booktuber panutan saya: Sophia Mega (teman-teman bisa cek blog-nya di link tersebut), akhirnya saya mencomot satu buku ini di perpustakaan. Hmm, saya belum beli karena baru beli buku lain. 😭

First impression saya sewaktu pertama kali mendengar judulnya adalah “heh? apa hubungannya?”, jelas tidak ada hubungan antara kambing & hujan, sebagaimana paham kita sehari-hari, tetapi jika kita amati makna antara kambing & hujan, keduanya adalah simpulan dari novel ini. Menarik! 😍

೦೦೦೦೦

Novel setebal 373 halaman ini bercerita tentang Miftahul Abrar (Mif) yang hendak melamar kekasihnya, Nurul Fauzia (Zia). Dua-duanya adalah anak dari dua tokoh pemuka agama di Centong---sebuah desa di daerah Jawa Timur. Baik Mif maupun Zia, sama-sama mengutarakan maksudnya kepada orang tuanya masing-masing. Dan, jawabannya, baik Pak Kandar ataupun Pak Fauzan, merasa keberatan akan hal tersebut.

Mif pun tidak berhenti untuk meminta restu dari bapaknya, begitu pula Zia. Dari sinilah, gerbang masa lalu itu terkuak. Kedua orang tuanya ternyata menyimpan masa lalu yang kelam dan berliku. Is (sebutan untuk Pak Kandar) dan Mat (sebutan untuk Pak Fauzan) adalah dua orang sahabat semasa remaja. 

Waktu itu, tahun 60’an, Is dan Mat menimba ilmu di SR (Sekolah Rakyat) yang diperuntukkan siswa di desa untuk menimba ilmu. Selepas SR, keduanya berpisah, Is tidak melanjutkan sekolahnya karena tidak memiliki biaya. Sedangkan Mat, yang keluarganya berkecukupan, melanjutkan sekolahnya ke Jombang. Meski Is tidak bersekolah, ia tetap belajar sendiri sembari menggembala kambing, sementara Mat pun memperdalam ilmunya kelak saat pulang dari pondok ia akan membaginya dengan Is.

Suatu ketika, Cak Ali datang ke Centong. Kedatangan Cak Ali diterima dengan baik oleh masyarakat Centong. Cak Ali pun sedikit demi sedikit mengajarkan ilmu agama disana. Hal ini menurut Is merupakan kesempatan bagus untuk belajar agama, yang kemudian dia menjadi murid Cak Ali. Tetapi, alangkah kecewanya para orang tua ketika mengetahui adanya perbedaan dari Cak Ali, dia sholat Subuh tanpa qunut, cara dzikirnya berbeda, dan doa-doa yang dibacanya. Cak Ali, Is, dan beberapa temannya dianggap menyesatkan, sampai pada suatu hari mereka diusir dari masjid dan menyebabkan terbelahnya dua masjid. Cak Ali, Is, dan teman-temannya dengan masjid Utara, sedangkan akhirnya, Mat (Pak Fauzan) diminta meneruskan masjid Selatan. 

Perbedaan tersebut juga akhirnya membelah pandangan masing-masing masjid, masjid Utara dengan pandangan NU (Nahdhlatul Ulama) dan masjid Selatan dengan pandangan Muhammadiyah. Dan, sampai 40 tahun kemudian, pandangan tersebut masih sama. Masih membelah antara dua masjid. Antara dua sahabat; Is dan Mat.

೦೦೦೦೦

Dikemas dengan gaya bahasa yang puitis, ceritanya membuat saya tersentuh dan terharu. Novel ini fiksi, tetapi terasa seperti membaca sejarah. Menurut saya, novel ini terasa dekat dengan kehidupan sehari-hari, mungkin karena saya orang desa? 😂 Dan, karena keluarga maupun saudara saya pun berada dalam dua pandangan tersebut, sehingga saya belajar keduanya. Jadi, saya yakin kalau teman-teman belajar kedua pandangan itu, akan merasakan kesamaannya ketika membaca buku ini.

Menggunakan alur flashback, ceritanya tetap dapat dinikmati secara mengalir. Dan juga, menggunakan sudut pandang orang ketiga, sehingga pembaca dituntut untuk jeli, karena pada setiap bagian, sudut pandang tokohnya selalu berganti. Kadang menggunakan sudut pandang tokoh Is, terkadang menggunakan sudut pandang tokoh Mat. Berganti-gantian seperti sedang didongengkan oleh beliau-beliau, hehe.

Cerita yang dihadirkan pun dipaparkan secara runtut, dari awal sampai akhir. Mulai dari pengantar cerita, konflik cerita, penyelesaian, hingga penutup cerita semuanya disusun dengan pas. Dari segi kisah Mif dan Fauzia bisa mendampingi kisah Is dan Mat bersamaan, kedua-duanya berpadu dengan lengkap, sehingga membentuk cerita yang utuh.

Kekurangannya bagi saya hanyalah font yang digunakan, pada pembuka cerita---yang kemudian pada halaman 243 dilanjutkan lagi---terjadi perubahan font. Saya mengira itu masih menggunakan sudut pandang Is atau Mat, ternyata sudah menggunakan sudut pandang  Mif.

Dari novel Kambing & Hujan, ada beberapa pelajaran yang dapat saya petik, diantaranya :
  1. “Pernikahan itu melibatkan dua pihak. Dua keluarga. Jikapun bapakmu atau ibumu tidak ada masalah, kita juga harus mengira-ngira apakah kamu atau keluargamu disukai atau tidak.” – sebuah nasihat dari pak Kandar untuk Mif mengingatkan saya akan pernikahan, meski sejatinya yang menikah itu terjalin antara calon pria maupun calon wanita, tetapi keluarga juga tidak boleh dikesampingkan.

  2. “Menjadi orang Islam modern itu bukan berarti mengabaikan semua hal yang tidak masuk akal, tahu kalian? Apalagi akal kalian yang cuma seupil itu! Berpikiran maju itu tidak berarti hal-hal yang berasal dari masa lalu itu kemudian diabaikan! Apa kedatangan Jibril di Gua Hira itu masuk nalar? Seberapa besar nalar kalian, mau menalar agama dan semua ciptaan Allah? Apa makhluk gaib itu bukan makhluk? Bagaimana kalau rumah kalian dirusak? Kalau ayam diusik saja mematik, apalagi jin.” – ujar Pak Guru Mahmud ketika Cak Ali, Is dan teman-temannya menebang pohon mahoni seenaknya. Disini sebenarnya saya setuju, bahwa percaya pada jin itu tidak diperbolehkan, tetapi bertindak seenaknya terhadap tempat tinggal jin juga tidak patut dilakukan, semestinya kita tetap memohon perlindungan-Nya, karena bagaimanapun jin dan manusia sama-sama ciptaan-Nya.

  3. “Menyajikan kopi kepada tamu itu baik, tapi tentu saja jangan dengan menyiramkannya ke muka” – ucap Mas Ali ketika menasihati Mat. Betul, ditengah-tengah masyarakat kita yang belum sepenuhnya paham tentang ilmu agama, sudah seharusnya kita sebagai umatnya untuk mengajarkan ilmu tersebut secara pelan-pelan dan sedikit demi sedikit.

  4. “Karena taklid jenis baru ini, beberapa orang jadi lebih keras dari seharusnya. Mereka buta, atau membuta. Mereka sulit membedakan mana yang benar-benar urusan agama mana urusan organisasi. Mereka menyamakannya. Mereka memandang tujuan, cara, dan sarana dengan cara sama. Misalnya, untuk bisa sampai ke Telogo Ombo, kita bisa lewat jalan depan masjid itu. Pakai apa? Kita bisa naik sepeda motor, bisa naik sepeda pancal, tapi bisa juga---kalau mau sehat, misalnya---jalan kaki. Sekarang coba bayangkan tentang orang yang tidak mampu membedakan mana Telogo Ombo, mana jalan yang harus dilewati, dan pakai apa dia menuju sana. Semua disamakan begitu saja. Dan akhirnya, main mutlak-mutlakan. Mereka menolak sama sekali baha untuk sampai ke Telogo Ombo, kita bisa ambil jalan memutar, ada juga jalan pintas lewat kebun-kebun di belakang Masjid Selatan itu, dan bahkan kita bisa tempuh lewat udara---wong sekarang ada helikopter.” – Pakde Anwar kepada Mif. Nasihat ini mengena buat saya, kenapa? Karena disinilah seperti inti dari perbedaan itu, sebenarnya kita tahu bahwa kita ini satu; Islam. Hanya saja kita terlalu sering membeda-bedakan pandangan dengan menjatuhkan satu sama lain, padahal intinya kita tetap sama.
Overall, saya puas sekali dengan novel Kambing & Hujan dan saya merekomendasikan novel ini untuk masuk dalam daftar bacan kalian. Wajib!!! Haha 😅 Saya memberi 5 bintang dari 5 bintang, very recommended book!

Ditunggu review selanjutnya, ya. See you, guys! 😉

BEST QUOTES
“Is, bagi sebagian besar dari kami, seperti kambing dan hujan–sesuatu yang hampir mustahil dipertemukan.” (hal. 222)

"COVER TERBARU"
Source : Google
Share:

2 komentar:

  1. Kayaknya keren nih buku. Tema perbedaan itu nggak pernah basi, ya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, mbak! Keren bangettt xD Sangat direkomendasikan buat dibaca pokoknya, hehe. Betul mbak, emang tema ini masih banyak peminatnya :)

      Hapus