Rabu, 25 Januari 2017

[CERPEN] : AKU BODOH!

AKU BODOH!

Tidakkah kau tahu? Aku selalu menunggumu disini. Berharap kamu akan mengatakan sesuatu yang selalu aku tunggu. Berharap agar aku bisa bertemu denganmu sebelum pergi. Namun, pada akhirnya, harapan hanyalah harapan. Semua berbanding terbalik dengan kenyataan.

***

“Tiga bulan yang lalu. Kamu pergi tanpa kata. Meninggalkan semua waktu yang telah kita lalui bersama. Ah, bukan bersama. Hanya aku saja yang terlalu lancang menyebutnya bersama. Pada kenyataannya, aku dan kamu memang bersama dia. Ya, dia yang saat ini mengisi hatimu. Tidakkah kamu tahu? Berulang kali aku mendapatinya dengan yang lainnya. Namun, berulang kali pula aku gagal mengatakannya padamu. Kamu lebih mempercayainya dibandingkan aku yang selama ini ada denganmu.

Aku bekerja sekarang. Kamu? Masihkah menetap disana? Diantara gedung-gedung yang menjulang tinggi dan segala hiruk pikuk yang terjadi setiap harinya. Bagaimana rasanya? Akankah kamu bangga bisa bersama dengan orang-orang metropolitan? Ataukah kamu tersiksa karena kamu bukan orang metropolitan? Entahlah. Aku hanya bisa mendoakanmu disini.

Kapan kamu pulang? Aku sangat merindukanmu. Aku masih menantimu disini. Di tepi danau ditemani dengan burung-burung yang berterbangan kesana kemari. Waktu itu rasanya bahagia sekali bisa duduk disampingmu. Bercengkrama dan bercanda. Aku dan kamu seringkali menghabiskan waktu untuk melihat matahari tenggelam.

Aku harap kamu baik-baik saja disana. Jangan merasa bersalah karena kamu tak pernah pulang. Jangan merasa sedih ketika mengingat memori kita. Dan jangan meneteskan air mata ketika kamu membaca surat ini. Sudah takdir dari-Nya aku begini. Sekian dariku! Tetaplah semangat menjalani kehidupan..”


Salam,


Dewi

***
Images by Google (with edit)
Tenggorokanku tercekat tatkala membaca surat itu. Surat berwarna biru dengan tulisan rapi bertengger diatasnya. Bulir-bulir air keluar di ujung mataku. Awalnya hanya sedikit, namun semakin lama semakin deras. Tak terbendung.
 
Dewi, haruskah secepat itu kamu pergi? Tega sekali kamu meninggalkanku. Ah, aku lupa! Aku juga tega meninggalkanmu. Maafkan aku! Seandainya pada pertemuan terakhir itu kita tidak bertengkar.
 
Sekarang? Harus kepada siapakah aku menjelaskannya? Pada nisanmu? Atau pada tanah yang mengubur tubuhmu? Hah? Maafkan aku telah pergi meninggalkanmu lebih dulu. Harusnya aku bertahan jika aku tahu kondisi tubuhmu. Tetapi mengapa kamu tidak bercerita? Mengapa?
 
Aku geram sendiri. Menyesali semua hal yang terjadi. Perkara dia yang dulu bersamaku, biar aku ceritakan. Aku salah mengira dan kamu benar. Mengapa kamu tidak bilang sewaktu kamu tahu? Tunggu! Aku yang bodoh. Tidak percaya denganmu, hanya karena aku tidak melihat dengan mata kepala-ku sendiri.
 
Saat aku memutuskan untuk pergi, aku sedang mencari peruntunganku. Maafkan aku meninggalkanmu tanpa sepatah kata. Aku sudah mencarimu. Tetapi tidak berhasil menemukanmu. Maafkan aku, andai saja waktu bisa kembali, aku ingin berpamitan denganmu. Sungguh!
 
Sekarang aku sudah pulang, aku sudah disampingmu. Mari kita bercerita dan bercanda. Tidak. Hanya aku yang bercerita dan tertawa sendiri. Tidak lagi ada kamu disampingku saat aku menatap senja di danau nanti. Tidak lagi ada kamu yang bersama denganku.
 
Dadaku sesak. Terhimpit oleh penyesalanku sendiri. Aku bodoh!

***

Yogyakarta, 25 Januari 2017
Karya : Wardhina Ayu.
Share:

4 komentar:

  1. nice, fontnya kekecilan ya jadi sulit bacanya

    BalasHapus
    Balasan
    1. ah iya nih mb, pengaturannya susah :( tapi masih diotak-atik kok. terima kasih sudah berkunjung :)

      Hapus
  2. Hai mba. Sampai skarang aku belum berhasil buat cerpen, jadi cerpen ini menurutku oke juga :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hai juga mba :) Semangat mencoba lagi mba, aku juga masih amatiran. Terima kasih sudah berkunjung :)

      Hapus