Sabtu, 19 Maret 2022

[REVIEW BUKU]: Mengapa Pernikahan Memuakkan – dan mengapa tak selalu demikian

“Kita memang selalu terjebak pada hal-hal ‘sekali seumur hidup’, lalu lupa pada fakta hidup itu berkali-kali.” – halaman 7

Buku Mengapa Pernikahan Memuakkan

Judul Buku : Mengapa Pernikahan Memuakkan
“dan mengapa tak selalu demikian”
Penulis : Sophia Mega
Penerbit : Lire Publisher
Tebal Buku : 57 halaman
Terbit : Cetakan pertama, Juni 2021
ISBN : 978-623-91310-7-4
IDR : 35.000


BLURB

Pernikahan begitu memuakkan, begitu kata banyak orang. Mulai karena membutuhkan biaya yang tak sedikit hingga kita harus kehilangan diri dan cita-cita karena menikah. Tetapi pernahkah kamu bertanya bahwa, apakah demikian memuakkannya pernikahan? Di sini, pertanyaan-pertanyaan itu sedang dicoba untuk ditemukan.


REVIEW 

Buku Mengapa Pernikahan Memuakkan ini sudah aku beli dan baca di tahun 2021, tapi aku baru menulis review buku ini tahun 2022, hehe. Kesan pertama ketika melihat promo buku ini membuatku mengernyitkan dahi, “hah? ada apa nih kok pernikahan memuakkan?”. Itu yang membuatku penasaran untuk membaca buku ini.

Jumlah halaman buku Mengapa Pernikahan Memuakkan ini tipis sekali, sepertinya termasuk buku paling tipis yang aku baca di tahun 2021 karena jumlah halamannya hanya 57 halaman saja. Selama membaca juga tidak membutuhkan waktu lama, meskipun aku membacanya dengan sistem jeda. Baca sedikit, jeda dulu, lalu lanjut baca lagi. Ini caraku untuk lebih memahami buku Mengapa Pernikahan Memuakkan.

◐◐◐◐◐

Berawal dari keresahan penulisnya, buku Mengapa Pernikahan Memuakkan ini mengungkapkan beberapa hal mengenai permasalahan awal dalam pernikahan seperti aku benci pesta pernikahan, pertanyaan yang menghantui: mengapa orang menikah?, cari pasangan kok yang mau diajak susah, handuk basah di kasur dan komunikasi sehari-hari suami dan istri, perempuan menikah dan masa depannya, serta siasat melewati hari berat.

Dibuka dengan pembahasan mengapa penulis membenci pesta pernikahan, pembahasan ini mengungkapkan bahwa terkadang dalam acara pernikahan berisi dua hal: niat baik dan ego. Niat baik bisa dilihat saat akad nikah berlangsung, sedangkan ego bisa dilihat saat pesta pernikahan digelar. Kupikir ini benar adanya, karena saat akad nikah berlangsung sudah pasti terasa sakral dan khidmat, sedangkan ketika pesta pernikahan digelar seperti sedang merayakan ego yang mana kemungkinannya ada dua: ego pengantin atau ego keluarga pengantin.

“Pertanyaan yang menghantui: mengapa orang menikah?”, pembahasan kedua di buku ini. Pertanyaan yang membuatku merasa relate karena aku sendiri juga pernah mempertanyakan ‘mengapa seseorang harus menikah’. Pertanyaan ini membuat penulis membuat website kapankamunikah(dot)com, website yang kemudian membuahkan dua buku: Kapan Kamu Nikah? dan Sepotong Kisah Keluarga. Ketika mempertanyakannya, aku juga cukup sering menemukan jawaban: menikah adalah naluri atau kodrat manusia. Padahal naluri atau kodrat ‘kan tidak selalu harus dengan menikah? Lalu ada kutipan di buku ini yang juga dikutip dari buku Saya, Jawa, dan Islam karya Irfan Afifi, kutipan yang membuatku ini membaca bukunya juga, hihi. Begini kutipannya:

“Menikah adalah pranata sosial yang paling kuat sebagai Kawah Candradimuka yang memaksa seseorang untuk menundukkan ego dan diri rendahnya, karena ia akan diuji untuk suatu tanggung jawab lebih dalam usaha mencari penghidupan dalam sebuah relasi masyarakat serta telah mengalami jatuh bangunnya proses tersebut (dhandanggula) yang menuntut sikap kedewasaan tertentu. Oleh karenanya, jika ia lolos dalam olah penundukan diri ini ia akan “bisa” mendermakan baktinya (durma) kepada sesama karena telah lepas dan mengatasi pamrih diri dan egotisme diri rendahnya.”

Lalu berlanjut ke pembahasan cari pasangan kok yang mau diajak susah, buatku nyebelin sih karena sering banget membaca seliweran timeline media sosial mengenai ‘mencari pasangan itu bukan yang mau diajak susah, udah repot-repot dibesarkan orang tua, kok diajak susah lagi’. Pernyataan yang kemudian memunculkan daftar-daftar calon suami/istri idaman. Aku memandangnya dengan: untuk apa sih? bukankah pernyataan mengenai “dia adalah orangnya” adalah pernyataan yang dikembalikan ke diri sendiri, karena yang tau ukuran dia dalam menjalani pernikahan adalah dirinya sendiri dan pasangannya. Bukan begitu?

◐◐◐◐◐

Membaca buku Mengapa Pernikahan Memuakkan ini membuka mataku bahwa ternyata sebelum menikah itu permasalahannya cukup pelik. Aku yang selama ini mempertanyakan "mengapa harus menikah" menjadi lebih terbuka lagi untuk menemukan jawaban dari pertanyaanku. Rasanya emang nggak pernah cukup! 🙃 mungkin karena aku belum menemukan seseorang yang tepat, hehe.

Buku Mengapa Pernikahan Memuakkan ini mengusung tagline “dan mengapa tak selalu demikian”, sesuai tagline buku ini tidak serta merta membuat kita membenci pernikahan, karena pembahasan di buku ini justru membuka mata kita sebagai pembaca untuk merenungkan tulisan-tulisan di dalamnya. Walaupun belum sepenuhnya mewakili keseluruhan permasalahan rumah tangga, tapi tulisan di buku ini menarik untuk dibahas.

Sejauh pengalamanku membaca buku Mengapa Pernikahan Memuakkan ini seperti sedang mendengarkan temanku bercerita atau berdiskusi tentang pernikahan. Mbak Sophia Mega menceritakan kegelisahannya dengan jujur dan murni sebagai "uneg-uneg" soal pernikahan. Bahasa yang digunakan juga santai, benar-benar seperti sedang mendengarkan temanmu berbagi keluh kesah. Sayangnya di beberapa bagian aku masih menemukan kalimat-kalimat yang kurang efektif. Semoga cetakan selanjutnya sudah diperbaiki ya, karena ini aku membeli saat cetakan pertama 🙂

Buku Mengapa Pernikahan Memuakkan (dan mengapa tak selalu demikian) ini ditutup dengan pembahasan teori komunikasi yang diambil dari berbagai sumber dan dirangkum oleh penulis. Jadi kita sebagai pembaca bisa memahami secara singkat dan mudah, juga bisa menerapkannya. Teori komunikasinya menarik untuk dipahami!

Aku memberikan 4 bintang untuk buku Mengapa Pernikahan Memuakkan (dan mengapa tak selalu demikian). Aku juga merekomendasikan buku ini untuk teman-temanku yang sedang dilanda kegalauan dan mempertanyakan tentang pernikahan, serta untuk teman-temanku yang ingin mendapatkan insight baru mengenai pernikahan. Buku ini sangat kurekomendasikan karena nggak hanya insightful tapi juga ringan untuk dibaca. 🤩

KUTIPAN TERBAIK

“Tak perlu muluk-muluk menjadi yang terbaik, paling suci, atau paling sempurna, hanya lebih baik dari waktu-ke-waktu. Barangkali, melampauinya saja sudah hal yang baik.” – halaman 54

Share:

2 komentar:

  1. wah ternyata tipis yaa kak. haha semoga cetakan selanjutnya bisa lebih tebal gitu 😆
    aku followers sophia mega dan emang tertarik sama buku inii, thanks review-nya kak 🥰

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah sesama followers mbak Sophia Mega nih, hihi. Buku ini memang cuma 57 halaman aja, mbak. Jadi tipis banget, sekali duduk dan baca udah selesai haha. Semoga ya cetakan selanjutnya bisa lebih tebal atau mungkin buku selanjutnya yang lebih tebal hihihi 😁

      Makasih juga sudah mampir kesini kak, semoga suka sama review-nya ya 🤩

      Hapus