Rabu, 20 Februari 2019

[REVIEW BUKU]: MARYAM – MEREKA YANG TERUSIR

“Lagi-lagi kabar baik itu tak pernah datang. Waktu terus berjalan, tamu-tamu pun terus berdatangan, harapan tetap ditanam, tapi inilah yang namanya kenyataan.” – (hal. 252)
Judul Buku :  Maryam
Penulis :  Okky Madasari
Penerbit :  PT Gramedia Pustaka Utama
ISBN :  978-979-22-8009-8
Tebal  Buku :  280 halaman
Terbit : Cetakan kedua (Februari, 2013)

SINOPSIS :
Lombok, Januari 2011

Kami hanya ingin pulang. Ke rumah kami sendiri. Rumah yang kami beli dengan susah payah, setelah dulu pernah diusir dari kampung-kampung kami. Rumah itu masih ada di sana. Sebagian ada yang hancur. Bekas terbakar di mana-mana. Genteng dan tembok yang tak lagi utuh. Tapi tidak apa-apa. Kami mau menerimanya apa adanya. Kami akan memperbaiki sendiri, dengan uang dan tenaga kami sendiri. Kami hanya ingin bisa pulang dan segera tinggal di rumah kami sendiri. Hidup aman. Tak ada lagi yang menyerang. Biarlah yang dulu kami lupakan. Tak ada dendam pada orang-orang yang pernah mengusir dan menyakiti kami. Yang penting bagi kami, hari-hari ke depan kami bisa hidup aman dan tenteram.
Kami mohon keadilan. Sampai kapan lagi kami harus menunggu?

- Maryam Hayati

REVIEW :
Whoa! Ini pertama kalinya aku membaca karya mbak Okky Madasari. Eh? Kok sepertinya dari kemarin pertama melulu ya? :D Sebelumnya, aku sempat membaca review tentang buku ini & aku langsung tertarik. Apalagi, topiknya nggak jauh-jauh dari novel sebelumnya. Ya, benar! Masih seputar tentang agama. Kalau novel Kambing & Hujan kemarin membahas tentang NU & Muhammadiyah, sekarang membahas tentang Ahmadiyah.

౦౦౦౦౦

Bercerita tentang Maryam yang baru saja tiba di Lombok, menyusuri tempat yang menjadi kenangannya. Maryam yang sudah memutuskan tidak pulang lagi semenjak tahun 2000, mendadak ia merasa berdosa pada kampungnya, pada orang tuanya, dan pada dirinya sendiri. Sejak tahun itu, Maryam bekerja dan hidup di Jakarta, ia sudah menikah dengan Alam. Pernikahan tanpa restu orang tuanya.

Pak Khairuddin (bapak Maryam) merupakan seorang Ahmadiyah yang taat. Begitu pula ibunya. Keluarga Maryam sudah turun temurun menjadi bagian dari Ahmadiyah. Ia lahir dan dibesarkan dengan budaya orang-orang Ahmadi---yang mempunyai perbedaan dengan para tetangganya. Orang-orang Ahmadiyah ini mempunyai kelompok pengajian sendiri (tidak bersama warga), yang datang pun dari jauh-jauh. Pak Khairuddin juga punya mushola kecil di belakang rumah, para tetangganya pun tahu akan hal itu. Bahkan, mereka berkata, “Itu beda, itu Islamnya Pak Khairuddin,” yang membuat perbedaan tampak signifikan.

Maryam pulang, setelah keluarganya diusir dari rumahnya sendiri. Ia pun berusaha mencari keberadaanya. Maryam pulang, menceritakan kisahnya sendiri yang memilukan. Ia bercerai dengan suaminya. Maryam pulang, bertemu dengan keluarganya yang sudah memaafkan perbuataannya.

Disaat Maryam memutuskan untuk tidak kembali ke Jakarta. Keluarganya juga memutuskan untuk menikahkan Maryam dengan Umar---anak sahabat pak Khairuddin, juga seorang Ahmadi. Ketika usaha suaminya semakin sukses dan keluarganya hidup aman dan tentram, saat itu juga, kejadian yang lalu terjadi lagi. Mengharuskan Maryam kembali berteriak atas ketidakadilan yang ia terima.

౦౦౦౦౦

Membaca buku dengan tema yang sama membuat saya mudah memahami. Terbukti hanya tiga hari saja untuk melahap tuntas novel ini. Menggunakan alur maju-mundur, cerita dibiarkan mengalir santai. Bagi saya yang pertama kalinya membaca karyanya, cukup bingung, karena tidak ada penanda bahwa itu menceritakan masa lalu. Tetapi, hanya perlu kejelian dalam menandai  bagian-bagian itu.

Meski novel ini mengangkat isu tentang Ahmadiyah, tetapi tidak banyak yang dibahas, hanya tentang kepunyaan pengajian dengan kelompoknya sendiri, saat ibadah tidak membaur dengan masyarakat. Ya, menurut saya memang begitulah novel, apalagi fiksi. Balutan seputar Ahmadiyah saja yang menjadi poin dalam novel ini.

Dan, lagi-lagi, masih seputar pernikahan. Aku membaca novel sebelumnya dan novel ini juga mengajarkanku tentang restu orang tua. Pernikahan tanpa restu orang tua itu berpengaruh untuk kedepannya. Hwaa, aku tuh jadi baper.. :’(

Membaca ini membuat saya terharu. Terutama saat pengusiran. Tidak dijelaskan mengapa mereka diusir, padahal keberadaan mereka pun tidak menganggu kehidupan masyarakatnya. Juga, pada saat pengajian pun mereka tidak merepotkan para tetangganya. Hanya saja mereka dibilang sesat. Lebih-lebih pada bagian saat penguburan pak Khairuddin, mereka tidak ingin tanah kuburannya ditempati orang sesat. Padahal, selama hidupnya pak Khairuddin selalu baik terhadap tetangganya. Sebegitu bencinyakah mereka? Miris!

Kekurangannya bagi saya adalah bagian dialog dalam novel. Dialognya tetap diceritakan seperti narasi, hampir sama dengan cerita. Barangkali ini ciri khas dari mbak Okky Madasari, saya pun belum tahu. Mari kita baca karya-karyanya yang lain, agar tahu! Hehe xD

Overall, saya tetap merekomendasikan buku ini untuk teman-teman yang membutuhkan bacaan dengan topik seputar agama, tetapi dikemas dengan ringan. Saya memberi 4 bintang dari 5 bintang. Sampai jumpa di review selanjutnya, ya. See ya! 

QUOTES TER-BEST
“Yang namanya keyakinan memang tak bisa dijelaskan. Ia akan datang sendiri tanpa harus punya alasan.” – (hal. 55)
Share:

0 komentar:

Posting Komentar