Rabu, 30 Juni 2021

Juni dan Sepi

Pada akhirnya, sepi mengajariku kembali untuk bertahan menjadi manusia.


Cerita ini sepertinya menjadi konten satu bulan sekali untuk tetap menulis di blog. Iya, karena memang hanya ditulis pada tanggal 30 saja. Sementara untuk tanggal lainnya belum bisa menuliskan apa-apa. Selain aku sedang buntu untuk menuliskan apa, aku juga belum mempunyai tabungan konten review buku lagi. Yah, begitulah kiranya keadaannya saat ini. Menulis satu bulan sekali saja rasanya sudah menjadi prestasi untuk saat ini. Harapannya semoga rutin satu bulan satu kali. Aamin.

Tibalah di bulan Juni. Bulan dimana rasanya seperti yang sudah-sudah. Sedih. Sepi. Dua hal yang tidak pernah absen menghiasi bulan Juni. Bulan Juni beberapa tahun yang lalu, sedih mendapati kisah sesaat yang tidak pernah dimulai, juga tidak pernah diakhiri. Bulan Juni tahun lalu, sedih karena baru saja lepas dari pendidikan dan dunia sedang tidak baik-baik saja. Lalu rasa sepi yang turut serta melengkapi rasa sedih itu. Bulan Juni beberapa tahun yang lalu, melewati perasaan sedih itu sendirian. Tidak ada tempat untuk bercerita–atau mungkin lebih tepatnya tidak mencari tempat untuk bercerita karena tidak akan ada yang mengerti ceritamu, kecuali kamu menceritakan secara langsung pada orang yang bersangkutan. Bulan Juni tau lalu, menghadapi perasaan sedih ketika lulus dan kehilangan arah akan kemana. Dunia yang sedang tidak baik-baik saja membuat manusianya lebih peduli terhadap dirinya sendiri, bukan pada orang lain. Bukan padaku. Mungkin aku saja yang terlalu egois, tapi aku juga tidak mau merepoti orang lain dengan keluh kesahku. Aku sedih sendiri. Aku sepi sendiri. Aku menulis sendiri. Dan, aku menangis sendirian. Tidak apa-apa itu semua sudah terlewati.

Bulan Juni tahun ini rasanya sepi lagi dan tentu saja.. sedih. Setelah Mei dan kehilangan, kini berganti menjadi Juni dan sepi. Sedihnya di bulan Mei berlanjut di bulan Juni. Ditinggal oleh rekan kerja yang baru akrab beberapa bulan dan harus membiasakan diri bersama teman-teman baru rasanya seperti dipaksa untuk membiasakan diri lagi. Padahal tadinya sudah terbiasa, terus diminta membiasakan diri lagi. Capek. Belum lagi harus pindah kantor karena divisiku kebagian di kantor baru. Hah, pembiasaan dengan tempat baru lagi. Yah pada akhirnya juga tidak mengapa, toh bagiku di pekerjaan manapun akan selalu sama seperti itu.  

Rasa sepi itu memunculkan berbagai pertanyaan di kepalaku. Aku sering seperti ini, mempertanyakan segala sesuatu yang terjadi pada diriku sendiri. Kadang overthinking, kadang kontemplasi. Aku tidak tahu mana yang lebih tepat, tapi sejauh ini aku merasa lebih banyak overthinking daripada kontemplasi. Aku jadi teringat kata mas Aan Mansyur, “kepalaku adalah kantor paling sibuk di dunia.” Rasa-rasanya memang betul begitu dan.. mengingat mas Aan Mansyur, aku juga mengingat orang yang pertama kali mengenalkanku pada karyanya. Juni beberapa tahun yang lalu.. ah kenapa juga masih membekas?! 😢

Kadang pertanyaan-pertanyaan yang muncul itu jawabannya bukan saat itu juga. Satu malam kepikiran, lalu beberapa waktu kemudian menemukan jawabannya. Yah, hidup kadang-kadang membawa pada pertanyaan dan jawaban yang tidak terkira kapan kedatangannya. Aku mempertanyakan lagi bagaimana mengatasi rasa sepi itu. Beberapa waktu terakhir, aku mengatasi rasa sepi itu dengan menonton film, membaca buku, bermain game. Sesuatu yang umum dilakukan oleh orang-orang yang penat akan pekerjaannya. Kadang aku juga bertanya, bagaimana jika ada satu orang tempatku bercerita semua kepenatan itu? Ah, tapi jawabannya untuk saat ini tetap aku tidak mau merepotkan orang lain. Bentar.. mungkin lebih tepatnya, aku tidak ingin mengikat seseorang menjadi tempatku bercerita. Siapa aku membebaninya dengan masalah hidupku?

Jalan pintas seperti itu rasanya membuat tidak sadar kalau ternyata diri sendiri butuh orang lain bukan untuk membebani dengan masalah sendiri. Seseorang yang mau bersama kita juga pasti mau untuk bersenang-senang. Sepaket. Senang dan susah. Meski begitu, tidak semua hal bisa ditumpahkan kepada orang lain karena semua itu ada batasnya. Apa keperluannya sampai semua hal diberitahukan kepada orang lain? Termasuk kepada teman kita sendiri. Meski tidak semua orang memahaminya bahwa ada cerita yang sebaiknya dibagikan kepada orang lain dan ada beberapa cerita yang sebaiknya disimpan sendiri. Kadang-kadang hal yang disimpan sendiri itulah yang justru menyakiti diri sendiri, karena sakitnya cuma dirasakan sendiri. Dihadapi sendiri. Lalu diatasi sendiri. Sakit, bukan? :’)

Ya tapi tidak mengapa juga. Aku lebih memilih untuk menyelesaikan masalahku sendiri, jika memang itu bisa aku selesaikan sendiri. Aku juga tidak menceritakannya kepada orang lain, kecuali setelah beberapa waktu. Jadi memang benar-benar aku selesaikan terlebih dahulu. Baru aku akan menceritakannya kepada orang lain. Mungkin akan memang lebih mudah begitu, setidaknya itu bagiku sih. Baru ketika ada hal-hal yang tidak bisa aku selesaikan sendiri, aku akan meminta bantuan orang lain. Aku tidak ingin egois, tapi aku juga tidak ingin merepotkan orang lain. Itu saja.

Juni dan sepi kembali mengajarkanku bahwa pertengahan tahun sudah terlewati. Lalu, apa kabar rencana dan harapan? Huh, sepertinya memang harus diikhlaskan saja beberapa rencana itu. Sekarang, bertahan dari dunia yang sedang tidak baik-baik saja sudah cukup. Diberikan nikmat sehat, punya pekerjaan, dan tetap waras menghadapi segala sesuatu yang terjadi saja sudah sangat cukup. Bersyukur diberikan semua itu. Alhamdulillah.

Pada akhirnya, sepi mengajariku kembali untuk bertahan menjadi manusia.

Hai, Juli. Bulan kelahiran. Semoga lekas membaik ya! 🌱
Share:

0 komentar:

Posting Komentar