Kamis, 24 Oktober 2019

[REVIEW BUKU]: SUNYI DI DADA SUMIRAH - PEREMPUAN MELAWAN KETIDAKADILAN

"Kenapa di dunia ini ada orang-orang yang mampu menyakiti orang lain hanya karena mereka merasa memiliki derajat yang lebih baik?"


Judul Buku:  Sunyi di Dada Sumirah
Penulis:  Artie Ahmad
Penyunting: Amanatia Junda
Penerbit:  Buku Mojok
Tebal  Buku:  298 halaman
Terbit:  Cetakan pertama, Agustus 2018
ISBN:  978-602-1318-72-0
IDR:  78.000


SINOPSIS :
Tiga perempuan dalam tiga masa yang berbeda harus menjalani takdir dan kesunyiannya masing-masing, sementara ketidakadilan terus mengiringi langkah mereka. Sunyi, seorang gadis metropolitan, tampak berusaha keras menolak asal muasalnya, menolak jati dirinya dengan memasang lensa kontak demi menutup warna kelabu dari hidupnya. Sumirah, seorang perempuan dusun yang setia, terpaksa menandatangani perjanjian yang membuat makna kebertubuhannya sedemikian sumir, menjadi sekedar pemuas dahaga para lelaki...

Dan Suntini, seorang janda yang tak pernah mengerti mengapa negara membawanya pergi, hilang, dan terkubur tanpa kata pembebasan, merupakan awal dari kemuraman kisah tiga babak dalam buku ini. Mungkin Anda telah sering menjumpai kisah-kisah dengan tokoh perempuan yang malang, tapi ini bukan sekedar potongan kisah perempuan, ini adalah kisah panjang penelusuran makna kesunyian perempuan dari tiga zaman, melintasi tiga generasi untuk menyingkap gelapnya sejarah manusia.

REVIEW :
Membaca kisah perempuan dan kehidupannya selalu membuat saya tertarik untuk membacanya hingga tuntas. Sama seperti saya melihat buku Sunyi di Dada Sumirah pada rak perpustakaan, saya langsung mengambilnya begitu saja dan tenggelam dalam buku ini.

೦೦೦೦೦

Buku ini mengisahkan tentang tiga perempuan lintas zaman dengan penderitaannya masing-masing. Tiga perempuan yang harus menghadapi ketidakadilan atas hidupnya sendiri. Kisah dimulai oleh Sunyi, perempuan berusia kurang dari seperempat abad yang harus menyembunyikan jati dirinya yang sebenarnya. Sunyi harus menerima kenyataan bahwa ia lahir dari rahim seorang perempuan tidak diinginkan keberadaannya. Disaat Sunyi bertemu seorang pemuda yang membuatnya jatuh cinta, ia ingin memberitahu identitasnya yang sebenarnya. Namun disaat itu pula Sunyi sadar bahwa cinta yang ia kira tulus justru berubah. Dirinya hancur. Betapa ternyata patah hati itu jauh lebih mudah ketimbang jatuh cinta. Ia tidak bisa pulang. Rumah yang menjadi tempatnya bernaung selama ini menjadi neraka baginya akibat sikap kerasnya terhadap Mi. Sedangkan Mi juga tidak bisa meredam amarah Sunyi. 

“Dari sini aku sadar, untuk dianggap sebagai manusia itu sangat sederhana. Mengamati manusia sekitar maka akan dilihat balik. Menebar keramahan, meski terkadang hanya basa-basi berlandaskan demi kesopanan, akan menuai senyum balasan pula.” – hal. 56.

Mi---sapaan Sumirah---adalah ibunya Sunyi. Perempuan yang dianggap sebagai sampah lantaran hidupnya memilih dihabiskan pada dunia malam. Sumirah tidak pernah memilih menjalani hidupnya saat ini. Sumirah terpaksa melakukannya karena sebuah perjanjian dengan muncikari. Saat itu Sumirah dijual oleh kekasihnya sendiri. Kekasih yang mengajaknya ke kota untuk mencari pekerjaan justru menjerumuskannya pada kehidupan yang dianggap menyimpang norma. Kekasihnya tidak pernah kembali lagi, sementara dia harus tetap menjalankan pekerjaannya. 

Sumirah yang malang. Kemalangannya bermula sejak ia masih kecil. Sumirah ditinggal ibunya, Suntini yang ditangkap oleh aparat meski tidak tahu apa kesalahannya. Suntini meninggalkan Sumirah saat umurnya dibawah lima tahun. Suntini pedagang endhog bebek yang dijajakan berkeliling kampung itu dibawa pergi dan tidak pernah kembali lagi. 

೦೦೦೦೦

Membaca buku ini membuat saya hanyut akan cerita perjuangan setiap tokoh didalamnya. Ketiga-tiganya adalah perempuan, sama seperti saya. Apalagi kisahnya dibalut dengan ketidakadilan hidup, ada rasa getir ketika membacanya. Hidup ini memang tidak sepenuhnya adil, kadang di belahan dunia lain orang-orang sedang berjuang menuntut keadilan bagi dirinya sendiri maupun lingkungannya.

Menurut saya, penulis pandai merangkai kata, sehingga meskipun berkisah tentang luka perempuan tetapi tetap pemilihan diksinya berisi keindahan. Penulis juga menggunakan alur maju dan mundur, membuat cerita dapat dinikmati secara lengkap dan utuh. Saya sendiri sangat menyukai Sunyi, bagi saya bertahan hidup menjadi seorang anak yang entah bapaknya berada dimana sedangkan ibunya mempunyai pekerjaan seperti itu justru tidak membuatnya ingin mengakhiri hidup. Malah di akhir cerita Sunyi membawa titik terang untuk hidupnya dan hidup ibunya, saya salut dengan akhir cerita buku ini.

Dari buku ini saya belajar untuk melihat perempuan dan memahami perempuan lebih dalam lagi. Saya jadi terpikirkan bahwa perempuan yang saat ini menjalani pekerjaan yang tidak semestinya itu merupakan pilihannya sendiri. Siapa tahu dibalik pekerjaannya itu ia sedang memperjuangkan sesuatu, kebebasannya mungkin? Bisa saja begitu, karena tidak ada yang mau memilih jalan seperti itu dengan kerelaan, saya yakin ada faktor yang memaksanya untuk tetap menjalani pekerjaan tersebut.

Secara keseluruhan saya menikmati cerita yang disuguhkan di buku ini. Saya merekomendasikan buku ini untuk teman-teman yang membutuhkan bacaan seputar perempuan dan perjuangannya. Saya memberi 4 bintang untuk buku Sunyi di Dada Sumirah.

KUTIPAN TERBAIK
“Aku tak perlu membenci siapa saja yang menyakitiku. Membenci akan membuat nilai derajat diri akan turun, akan lebih menjadi rendah lagi. Memaafkan siapa saja yang menyakiti adalah satu cara yang ampuh untuk mengobati hati yang merasa tersakiti.” – hal. 120
Share:

2 komentar: